Sedih. Jengkel. Kecewa. Marah.
Itulah emosi-emosi negatif yang sempat mewarnai
hari-hariku selama 3 hari 2 malam saat kegiatan Temu Kaum Muda Vinsensian 2015
berlangsung pada tanggal 16 – 18 Oktober 2015 lalu. Lantas kenapa bisa begitu?
Panjang ceritanya...
Tahun ini aku sengaja memilih tugas kepanitiaan yang
berbeda dari biasanya. Jika dari tahun ke tahun tugas yang kugeluti dalam
sebuah kepanitiaan adalah seputar duit alias menjadi bendahara, kali ini
aku sengaja ingin mencoba tantangan yang berbeda yaitu hal-hal yang lebih
kearah aktivitas fisik namun tak jauh dari unsur sentuhan kewanitaan yaitu
urusan dapur alias menjadi sie konsumsi.
Masa persiapan berjalan dengan lancar. Bersama dengan
teman-teman sie konsumsi lainnya, aku sudah membuat perencanaan yang detil. Hal
ini membuat aku optimis bahwa pada saat Hari-H segala sesuatunya akan berjalan
lancar sesuai rencana yang sudah disusun, meski tantangan yang dihadapi oleh
sie konsumsi akan lebih berat pada tahun ini. Kami harus menyediakan tenaga
ekstra dalam melakukan tugas kami. Hal ini dikarenakan letak dapur darurat dan
aula tempat acara digelar berjauhan. Dapur berada di lantai 1 di ujung sana dan
aula berada di lantai 3 di ujung sini. Ditambah lagi tidak semua personil sie
konsumsi bisa standby penuh setiap
harinya karena beberapa masih harus ngantor.
Dan benar adanya, pada saat pelaksanaan di lapangan kami
harus naik turun tangga dan riwa-riwi alias mondar-mandir bak setrikaan
entah berapa kali dalam sehari. Terasa lebih berat saat kami harus usung-usung
peralatan dan logistik yang cukup berat. Letak dapur yang tidak strategis itu
juga membuat kami ketambahan tugas mencuci gelas - gelas kotor yang habis
dipakai oleh peserta dan panitia. Ujian tambahan adalah saat mendapati nyala
api kompor dan aliran air kran yang minimal. Kami harus bangun subuh-subuh agar
minuman panas bisa disajikan tepat waktu. Juga, ulah sebagian peserta dan
panitia yang tidak mau mengembalikan gelas-gelas kotor ke tempat yang
seharusnya bahkan membuang gelas ke tempat sampah menyebabkan kami kekurangan
gelas dan pada akhirnya kami harus mencuci gelas-gelas yang tersisa secara
maraton.
Ujian yang paling berat adalah saat mendapati segala
sesuatu yang sudah disusun menjadi berantakan saat Hari-H. Isi dan porsi
konsumsi yang tidak sesuai pesanan serta pengiriman konsumsi yang terlambat
terjadi secara beruntun mulai hari pertama sampai dengan hari terakhir. Tentu
saja hal ini berdampak pada acara yang sudah disusun sedemikian rupa. Oh my
God, stress rasanya...
Tidak hanya aku sebagai koordinator sie konsumsi yang
kecewa, jengkel, dan marah. Beberapa panitia yang lain pun merasakan hal yang
sama dan sempat ‘menegur’ kami dengan cukup keras. Secara manusiawi jujur aku
sempat merasa sedih, jengkel, kecewa, dan marah. Kami sudah berusaha melakukan
tugas kami secara maksimal dengan mengerahkan seluruh tenaga yang ada sampai
kami merasa kelelahan yang luar biasa. Tak hanya itu, kami bahkan sampai
kesulitan berjalan akibat kaki yang sakit serta melepuh. Betapa aku merasakan
bahwa dapat duduk santai dan berbaring sejenak adalah suatu kemewahan pada saat
itu. Sedih rasanya saat semuanya itu terasa tidak berarti lagi dan tidak
diperhitungkan hanya karena kekurangan yang terjadi akibat keterbatasan kami
sebagai manusia seutuhnya dan hal-hal yang terjadi diluar kendali kami.
Semua sudah terjadi namun aku percaya di balik setiap hal
yang terjadi pasti tersimpan pembelajaran yang bisa dipetik. Selama beberapa
hari ini aku pun berusaha terus merefleksikan pengalaman selama masa persiapan
dan saat acara TKMV berlangsung.
‘Ambil Bagian Dalam Hidup Kaum Miskin’ adalah tema yang
diusung dalam TKMV tahun ini, sebagai kelanjutan dari tema tahun lalu yaitu
‘Mendengarkan Kristus Dalam Diri Orang Miskin’. Seorang imam mengatakan bahwa
ambil bagian bukan hanya merasakan belas kasihan tapi benar-benar mengalami dan
mau ikut terlibat dalam menggulati kemiskinan. Berbuat sesuatu secara nyata dan
tidak hanya menjadi penonton. Aku merasa bahwa suka duka pengalamanku sebagai
sie konsumsi tahun ini sangat berarti dan membantuku untuk tidak hanya memahami
tema tersebut, namun juga mengantarku untuk turut ambil bagian dalam hidup kamu
miskin. Tugas sie konsumsi yang melayani hajat hidup orang banyak membawaku
pada pengalaman menjadi seorang pelayan – dimana predikat ini lebih banyak
disandang oleh wong-wong cilik alias
orang-orang miskin di sekitar kita yang hanya memiliki tenaga untuk dijual,
seperti buruh pabrik, asisten rumah tangga, kuli panggul, cleaning service,
office boy, dan masih banyak lagi.
Aktivitas fisik yang berat untuk bertahan hidup,
keterbatasan fasilitas, tidak diperhitungkan, kurangnya pengertian dan
penghargaan dari orang-orang sekitar adalah hal-hal yang tidak jauh dari
kehidupan orang yang miskin secara ekonomi. Memasak di dapur darurat dengan
fasilitas minim membuat aku bisa merasakan bagaimana mereka yang tinggal di
daerah kos-kosan buruh harus memasak di emperan rumah sambil diterpa terik
matahari dan hujan. Mengangkat panci dan thermos berisi minuman serta timba
berisi gelas-gelas kotor dari dapur ke aula dan sebaliknya, membantuku turut
merasakan bagaimana masyarakat miskin yang tinggal di daerah kumuh harus
berjalan jauh untuk mengambil air bersih dari pemandian umum. Membereskan
gelas-gelas kotor yang berserakan secara berulang dan mencucinya secara maraton
membuatku merasakan bagaimana lelahnya menjadi seorang asisten rumah tangga. Riwa
riwi naik turun tangga sambil mengangkat barang-barang berat membuat aku
turut merasakan bagaimana perjuangan seorang kuli panggul dan pedagang kecil
keliling untuk mencari sesuap nasi bagi diri dan keluarganya. Melakukan
aktivitas fisik tanpa banyak kesempatan untuk beristirahat membuatku memahami
beratnya perjuangan yang dilakukan oleh seorang buruh pabrik, office boy,
cleaning service, dan tukang becak dalam mengais rupiah.
Terus terang kuakui bahwa selama ini seringkali aku
mengomel saat mendapati ketidaksempurnaan dalam hasil kerja seorang asisten
rumah tangga atau cleaning service di tempatku bekerja tanpa berusaha memahami
keadaan mereka lebih jauh dan tanpa memperhitungkan usaha/kerja yang sudah
mereka lakukan. Mungkin saja mereka sudah berusaha melayani dengan
sebaik-baiknya dan berusaha melakukan tugas-tugas mereka dengan sempurna, namun
karena kesulitan dan keterbatasan mereka sebagai manusia maka hasilnya tidak
sesuai dengan yang kuharapkan.
Sekarang aku sudah mengalami sendiri susahnya menjadi
pelayan. Aku berharap pengalamanku ini lebih menumbuhkan rasa empati dalam
diriku terhadap keadaan orang-orang miskin yang ada di sekitarku sehingga kelak
aku dapat memperlakukan mereka secara lebih manusiawi, bahkan jika memungkinkan
menggerakkan aku untuk ambil bagian dalam hidup mereka dengan cara berbuat
sesuatu secara nyata untuk meringankan beban hidup mereka. Bagaimana caranya?
Jika aku seorang majikan atau pemilik sebuah perusahaan
yang mempekerjakan asisten rumah tangga, kuli panggul, buruh pabrik, office
boy, dan cleaning service, aku tidak
akan memaksa mereka untuk bekerja secara non stop melainkan aku akan memberikan
kesempatan beristirahat yang cukup dan aku akan memberikan upah, tunjangan, dan
fasilitas yang layak. Jika aku memakai jasa tukang becak, aku tidak akan
menawar habis-habisan melainkan memberikan bayaran yang pantas sebagai
penghargaan atas keringat yang tercucur dan jerih payah mereka. Jika aku membeli
barang dari pedagang kecil keliling, aku tidak akan menawar habis-habisan
melainkan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan laba sebagai
penghargaan yang pantas terhadap waktu dan tenaga mereka.
Jika aku tidak dapat memberi banyak atau berbuat yang
muluk-muluk terhadap orang miskin di sekitarku, setidaknya aku dapat melakukan
hal sederhana yang tidak membutuhkan banyak biaya atau tenaga yaitu dengan
berusaha mengerti, memahami, dan menghargai usaha mereka untuk bertahan hidup.
Bukankah orang-orang miskin itu juga manusia ciptaan Tuhan sama sepertiku yang
memiliki perasaan dan keterbatasan yang sama?
Jika aku ingin diperlakukan secara manusiawi, maka aku pun harus
memperlakukan orang lain secara manusiawi. Bukankah dalam Matius 7 : 12 dikatakan:
Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.
Surabaya, 22 Oktober 2015
Oleh : Lea Benedikta
Luciele
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi no. 65, November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar