Mataku tak pernah lepas dari dia.
Seorang anak 14 tahun. Setahuku ia anak pendiam. Begitu pula yang dikatakan
teman-temannya. Pagi hari berangkat ke sekolah. Sepulangnya dia bermain. Petang
hingga malam ngamen di perempatan besar dekat gubuknya. Hasilnya adalah setoran
buat ibunya, yang selalu nunggu sambil membawa si adik mungil.
Sudah lebih dari tiga minggu ia
meringkuk di sel ini. Kecil dan sempit. Tapi mungkin lebih luas dari pada gubuk
reotnya yang tersisa dari penggusuran bulan lalu. Namun, itu tetap sebuah sel.
Terpisah dari yang dewasa. Terhubungkan hanya oleh jendela tralis. Mencuri HP
adalah dosanya.
Saat itu ia lebih pendiam lagi. Kata
demi kata lirih diucapnya. Seakan tak ingin tetangga sebelah mendengar. Jongkok
meringkuk di belakang pintu teralis kamarnya. Matanya gelisah. Kadang
menyiratkan kengerian. Ia tampak lemah. Tiada daya. Tak pula kutemukan
keceriaan seorang anak, yang biasanya terpantul dari sirat mata dan polahnya.
Aku jadi ingat sajak Chairil Anwar…
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Dari kumpulannya terbuang
Tapi Chairil Anwar masih bisa
berucap…
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Itu mustahil baginya. Tak mungkin
dia bisa berlari membawa pedih dan peri. Anak ini tetap terkurung. Dunianya
telah menyempit. Dunianya telah menjadi isolasi. Ia akan semakin diam. Entah
sampai kapan….
Oleh : Rm. Rudy
Hermawan CM
Dimuat dalam
buletin Fides Et Actio edisi No.65, Nopember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar