![]() |
Ketika anak-anak belajar di sanggar
|
Ketika aku sampai di sanggar,
kegiatan udah mulai. Kulihat anak-anak duduk bergerombol. Sebagian di teras
depan. Asyik banget dengan kain flanel. Yang lain di ruang tamu. Sibuk
menggambar dengan ditemani relawan. Ini kegiatan tiap Jumat di sanggar.
Hari-hari lain sudah penuh dengan pendampingan belajar.
Kutaruh jaket dan ransel di kamar
dalam. Lalu kuperhatikan anak-anak di ruang tamu. Begitu tekun dan asyik dengan
lukisan-lukisannya. Lukisan gaya anak. Tidak terikat oleh aneka aturan dan
warna. Mereka gores apa yang mereka inginkan di atas kertas gambar. Cuman
karton manila putih sebenarnya. Dipotong-potong jadi kertas gambar. Kadang
mereka berebut pensil warna dan crayon. Memang terbatas sich. Tapi, ada saatnya
pula saling menawarkan. Keterbatasan bisa menjadi sarana untuk berbagi.
Gerombolan di teras jauh lebih
ramai. Mereka sibuk menggambar model di kertas. Kemudian diblat di atas kain
flanel. Dipotong. Dijahit. Lalu diisi kapas. Dijahit lagi. Ketika sulit
menggambar model, mereka minta bantuan relawan. Ketika gunting dirasa tidak
tajam, relawan dimintai tolong lagi. Ketika gak bisa memasukkan benang ke
jarum, relawan turun tangan juga. Jadi ramai. Karena, yang nemanin mereka cuman
satu relawan saat itu.
Aku duduk di antara mereka. Seorang
anak mendekat dengan senyum manisnya. Merasa ada yang bisa dimintain tolong.
“Mo, gambarkan modelnya donk,”
pintanya.
“Kamu ingin gambar apa?” tanyaku.
“Kura-kura,” jawabnya spontan. Masih
tetap dengan senyum manisnya.
Waduh…aku yang bingung. Gimana
menggambar kura-kura….
Yang lain ikutan mendekat. Menyemut
di sekitarku. Jadinya, aku pun sama sibuknya dengan mereka. Memotong kain
dengan gunting yang udah gak tajam ternyata susah juga. Tidak bisa lurus
mengikuti garis. Tangan juga jadi sakit dan kaku. Pantas aja anak-anak ini
kesulitan.
Ini asyiknya di sanggar. Kumpul
dengan anak-anak. Mereka bukan anak-anak jalanan. Mereka dari keluarga-keluarga
kurang mampu di sekitar sini.
Tidak mampu identik dengan pendidikan
mutu rendah. Kalau pun bisa bersekolah, yang bisa dijangkau pasti
sekolah-sekolah pinggiran. Bisa dibayangkan bagaimana kualitas pengajaran dan
fasilitas belajarnya.
Di rumah belum tentu ada yang nemani
belajar. Mau ikut les? Untuk makan aja susah, tutur orang tua mereka. Saat
ekonomi makin sulit, pendapatan menipis, pendidikan anak jadi rentan. DO dari
sekolah bisa menjadi pilihan yang sedang menunggu di ujung sana.
Tapi, sebenarnya masih ada yang mau
peduli. Masih tetap ada yang mau nemani mereka. Ada saatnya banyak teman datang
membantu anak-anak ini belajar. Anak-anak tidak sendirian. Dan, memang jangan
biarkan mereka sendirian.
Sanggar tidak menawarkan fasilitas
belajar yang wah. Juga bukan tenaga pengajar yang ahli. Yang ditawarkan adalah
sebuah ruang untuk bertemu. Pertemuan antara kepedulian dan kebutuhan.
Perjumpaan antara belajar dan bermain. Antara minimnya fasilitas dan nilai
berbagi. Antara penghargaan terhadap ekspresi anak dan perwujudan ekspresi diri
anak. Antara manusia dan martabatnya.
Semoga akhirnya menjadi perjumpaan
yang memfasilitasi tumbuhnya cinta sesama.
Oleh : Rm. Rudi
Hermawan CM
Dimuat dalam
buletin Fides Et Actio edisi Pebruari No. 44 thn 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar