Malam ini,
aku dan seorang teman lamaku sedang berada di sebuah kedai Mie Makassar di
samping Kebun Bibit daerah Bratang. Sambil menikmati masing-masing seporsi
jumbo Mie Makassar, kami asyik bercerita tentang banyak hal. Tentang
pengalamannya berlibur di Singapura baru-baru ini sampai ke persoalan keluarga
kami masing-masing.
Ditengah-tengah
keasyikan kami makan dan bercerita, muncullah seorang anak laki-laki dan
seorang anak perempuan dan mereka berdiri tepat di samping meja kami. Bocah
laki-laki tampak memegang beberapa eksemplar tabloid dan di tangan bocah
perempuan yang lebih kecil tampak beberapa eksemplar koran.
Rupa-rupanya
mereka adalah bocah-bocah penjual koran yang sedang menawarkan koran dagangan
mereka kepada kami dengan suara memelas. Aku tidak mempunyai kebiasaan membaca
koran, namun karena merasa iba, akhirnya aku memutuskan untuk membeli sebuah
eksemplar koran dari mereka.
Setelah
bocah laki-laki itu menerima uang pembayaran koran dari temanku, mereka tidak
langsung beranjak pergi. Sebuah pertanyaan yang membuatku terkejut meluncur
dari mulut bocah laki-laki itu. “Makanannya harganya berapa, mbak?” Karena
tidak menyangka akan ditanya seperti itu oleh bocah penjual koran itu, aku
sempat terdiam sesaat sebelum akhirnya tersadar dan menanyakan harga seporsi
mie Makassar itu pada temanku. Tapi temanku pun terdiam, mungkin karena
terkejut atau juga tidak tahu.
Akhirnya aku
bertanya balik pada bocah laki-laki itu, “Nggak
tahu. Kenapa?”
“Lapar”,
jawab bocah itu.
“Mau makan tah?” tanyaku lagi.
“Nggak punya uang”, jawabnya memelas.
“Kalau mau
makan, nggak papa, pesan aja”, kataku sambil menunjuk kearah
penjual mie di dekat gerobak.
“Nggak berani”, jawabnya lirih.
“Aku
pesankan ya?” tanyaku lagi.
“Yang ayam aja, separuh aja”, jawabnya lirih menanggapi tawaranku.
Aku segera
beranjak menghampiri si penjual dan memesankan seporsi jumbo mie dengan
campuran daging ayam dan segelas es teh manis untuk kedua bocah penjual koran
itu. Saat aku kembali ke meja kami semula, kulihat dua bocah tadi sudah
menempati meja di samping meja kami.
Saat pesanan
mie mereka datang, mereka berdua langsung makan dengan lahapnya. Mereka nampak
rukun dan saling berbagi. Kelihatannya mereka adalah kakak beradik.
Sambil
melanjutkan makanku yang terhenti sesaat, sesekali aku menoleh kearah mereka
berdua. Saat bocah laki-laki itu melihat kearahku, aku pun bertanya kepadanya,
“Rumahnya dimana dik?”
“Di
Rungkut”, jawabnya.
“Jauh
sekali. Kesini tadi naik apa?” tanyaku lagi.
“Naik sepeda
sama ibu.”
Sama Ibu???
Berarti ada ibunya di sekitar sini. Harusnya mereka bisa minta makan
kepada ibu mereka dong. Wah, jangan-jangan aku hanya dimanfaatkan oleh kedua
bocah ini dan ibunya untuk makan gratis nih. Jangan-jangan mereka tidak
benar-benar kekurangan makanan sampai kelaparan. Pikiran negatif langsung
menyergapku.
“Ibunya
dimana sekarang?” tanyaku menyelidik.
“Disana...”,
jawabnya sambil jarinya menunjuk ke sebuah arah.
“Ibu kerja?”
tanyaku semakin menyelidik.
“Nggak.
Jualan ini...”, jawabnya polos sambil menunjuk tumpukan tabloid yang ada di
depannya.
Perasaan
menyesal langsung menyergapku. Menyesal karena sudah berpikiran negatif dengan
mencurigai mereka telah memanfaatkan aku dan temanku untuk makan makanan enak
dengan gratis. Aku kemudian berpikir, mungkin penghasilan sang ibu tidak
mencukupi sampai-sampai anak-anaknya kelaparan dan harus meminta belas kasihan
pada orang asing untuk membelikan mereka makanan.
Tak lama
kemudian bocah laki-laki itu bertanya kepadaku, “Jam berapa mbak?”
“Jam tujuh”,
jawabku.
“Jam tujuh
pas?” tanyanya meyakinkan.
“Iya”,
jawabku sambil pikiranku menerka-nerka mengapa bocah itu menanyakan jam berapa.
Apakah mereka sudah ditunggu oleh ibu mereka yang sedang menjajakan koran di
tempat berbeda?
Ingin aku mengobrol
lebih banyak lagi dengan kedua bocah penjual koran itu, namun karena temanku
datang jauh-jauh dari luar pulau dan kami jarang bertemu, maka aku melanjutkan
bertukar cerita dengan temanku.
Beberapa
kali kulihat beberapa orang yang juga sedang makan di kedai itu melihat kearah
mereka dengan tatapan heran. Entah apa yang ada di pikiran orang-orang itu.
Apakah merupakan suatu keanehan bagi mereka melihat dua bocah penjual koran
sedang makan semangkuk jumbo Mie Makassar yang harganya memang tidak terlalu
murah itu?
Tidak lama
kemudian, kedua bocah itu sudah selesai makan. Kulihat mangkuk mie ukuran jumbo
dan gelas minuman mereka sudah licin tandas. Nampaknya mereka benar-benar
kelaparan, pikirku.
“Terima
kasih, mbak”, ujar bocah laki-laki itu sopan ketika mereka melewati meja kami
sebelum meninggalkan kedai Mie Makassar itu.
“Iya. Kamu
kelas berapa?” tanyaku cepat sebelum mereka pergi.
“Kelas 2
SMP”, jawab bocah laki-laki itu.
“Kalau
adiknya ini kelas berapa?” sambungku lagi.
“Nggak
sekolah”.
“Umur
berapa?”
“Empat
tahun”.
“Nggak
sekolah atau belum sekolah?” tanyaku meyakinkan lagi.
“Nggak
sekolah”, jawab si kakak sambil mereka berjalan keluar kedai.
Sepeninggalnya
kedua bocah penjual koran itu, aku dan temanku melanjutkan saling bercerita, namun
sebagian pikiranku melayang-layang mengingat kejadian malam itu. Terbersit rasa
sesal dihatiku. Mengapa aku hanya membelikan mereka segelas es teh manis,
padahal mereka kan berdua? Mengapa aku tidak meminta mereka duduk semeja dengan
kami sehingga aku bisa ngobrol lebih banyak dengan mereka untuk mengetahui
kehidupan mereka lebih banyak? Mengapa aku tidak menanyakan nama mereka?
Mungkin aku
sendiri tidak tahu manfaat bagiku dan bagi mereka berkaitan beberapa hal
yang kusesali tadi. Akankah hal-hal tersebut apabila sudah kulakukan akan
membawa perubahan positif bagi kehidupan mereka? Aku tidak tahu.
Tapi yang
aku tahu dan aku sadari dengan jelas saat ini adalah ternyata aku masih belum
bisa sepenuhnya berpikiran dan bersikap positif terhadap orang lain yang
berkekurangan atau miskin. Masih ada kekuatiran bahwa mereka hanya akan menipu
dan mengambil keuntungan dariku dengan memanfaatkan akting memelas mereka.
Aku hanya
menilai dari permukaan saja. Padahal apabila dicerna lebih dalam lagi, akan ada
beberapa hal logis yang dapat meruntuhkan penilaianku tadi. Apabila keluarga
bocah penjual koran itu tidak berkekurangan, apakah sang ibu akan tega
membiarkan anak-anaknya yang masih dibawah umur berkeliaran pada malam hari
untuk berjualan koran apalagi meminta-minta makanan pada orang asing? Apabila
bocah laki-laki itu tidak benar-benar harus membantu mencari penghasilan bagi
keluarganya dengan berjualan koran , tentunya ia akan mengisi malam hari ini
dengan bermain atau belajar seperti layaknya teman-teman sebayanya. Mungkinkah
waktu tadi ia menanyakan jam, sebenarnya ia kepikiran
bahwa ia belum belajar atau mengerjakan PR dikarenakan waktunya terpakai untuk
menjajakan dagangan korannya? Ataukah ia belum bisa memenuhi target penghasilan
padahal waktu sudah semakin malam? Kalau memang benar mereka memanfaatkan kami
untuk makan makanan enak dengan gratis, mengapa bocah laki-laki itu hanya minta
dibelikan separuh porsi mie saja? Bukankah lebih banyak lebih baik? Tapi bocah
itu hanya meminta sedikit, tidak berlebihan. Mendapat sedikit rejeki saja ia
sudah bersyukur. Tidak ada ketamakan dalam dirinya.
Satu hal
lagi yang mengusik pikiranku. Mengapa bocah laki-laki itu tidak berani memesan
mie pada penjual itu? Apakah ia takut ditolak oleh penjual itu? Apakah ia
merasa minder? Hal ini mungkin saja menjadi alasannya, mengingat masih banyak
orang yang menaruh curiga dan tidak bisa mempercayai orang-orang miskin. Orang
miskin seringkali dipandang sebelah mata dan lebih rendah.
Mungkin saja
itu semua hanyalah rekaanku dan aku tidak akan pernah tahu jawabannya kecuali
aku dapat bertemu kembali dengan kedua bocah penjual koran itu dan
berkomunikasi dengan mereka secara intens. Namun, dari pengalaman ini aku perlu
belajar untuk berpikir lebih positif terhadap orang miskin. Kecurigaanku
terhadap kedua bocah tadi bisa jadi karena aku tidak mau dirugikan. Padahal
kalau dipikir-pikir lagi, toh dengan
kehilangan uang sebesar harga semangkuk mie ukuran jumbo dan segelas es teh
manis pun aku dan temanku tidak akan menjadi jatuh miskin.
Oleh : Lea Benedikta Luciele
Dimuat dalam buletin Fides Et
actio edisi No.76, Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar