Kami
bertiga duduk terdiam di tepi jalan sambil mengamati kendaraan yang lalu lalang
di jalan yang tidak terlalu lebar itu. Karena kami hanya membawa sebuah dingklik
plastik, maka kami pun bergantian duduk. Yang tidak kebagian duduk di dingklik
plastik ya cukup jongkok, atau duduk diatas kotak es batu.
Beberapa
puluh menit berlalu sejak kami menggelar dagangan jagung serut keju, es blewah
dan kolak kami, tapi belum juga ada orang yang membeli dagangan kami. Matahari
sudah bersiap-siap bersembunyi dibalik katulistiwa.. Jagung rebus didalam dandang
sudah menjadi semakin dingin. Semakin banyak asap kendaraan bermotor dan
debu jalan yang terhirup kedalam saluran pernapasan kami. Akhirnya kami
menghibur diri dengan mendengarkan musik yang mengalun pelan dari MP3 handphone
yang kami bawa sambil bermain tebak-tebakan.
Tidah
pernah terlintas dalam pikiranku sebelumnya, bahwa aku akan berada di jalanan
untuk berjualan. Berjalan kaki di jalanan kota Surabaya yang penuh polusi udara
dan suara saja sudah membuatku tidak nyaman. Apalagi nongkrong di
pinggir jalan, berjualan pula. Apa yang akan terjadi seandainya ketika aku
menjadi pedagang kaki lima dadakan ini ada kenalan atau saudaraku yang
melihatku berkeliaran di jalanan? Apa yang akan dipikirkan oleh mereka? Apa
kata dunia?
Dua
kali aku menemani adik-adik sanggar berjualan jagung serut keju, es blewah, dan
kolak di bulan puasa. Bagi mereka bukan untuk mengisi waktu senggang, tapi
untuk mendapatkan beberapa rupiah uang saku untuk berlebaran. Bagi aku? Untuk
belajar.
Ya,
untuk belajar. Belajar menjadi pedagang kaki lima untuk berjaga-jaga seandainya
suatu saat aku dipecat dari pekerjaanku??? Tentu saja tidak.
Aku
belajar untuk memahami perjuangan hidup masyarakat pinggiran. Aku belajar
bagaimana perjuangan mereka untuk mendapatkan beberapa rupiah demi sesuap nasi.
Aku belajar tentang sulitnya bagi sesama kita yang kurang beruntung untuk
berjuang mempertahankan hidup. Aku belajar untuk menempatkan diri dalam posisi
orang lain. Aku belajar untuk memperlakukan orang lain dengan lebih baik dan
manusiawi.
Kita
semua pasti pernah membeli suatu barang/jasa dari pedagang kecil yang berjualan
di stand-stand, di pasar, di depan sekolah, di depan kantor tempat kita
bekerja, di tepi jalan, penjual keliling yang lewat didepan rumah kita atau
mungkin jasa tukang becak dan pembantu rumah tangga. Dan aku rasa kita pasti
pernah menawar harga yang diberikan untuk barang/jasa yang hendak kita beli. Demi
turunnya harga yang hanya beberapa ratus atau ribu rupiah saja, yang meski
kehilangan uang sejumlah itu kita tidak akan menjadi kelaparan atau jatuh
miskin, kita dengan mati-matian menawar harga serendah-rendahnya atau bahkan
mungkin sambil berkata kurang menyenangkan terhadap penjual barang/jasa
tersebut. Mungkin kita tidak ingat, atau bahkan tidak pernah terpikir oleh kita
bagaimana perjuangan para pedagang kecil yang notabene orang-orang yang kurang
beruntung (masyarakat pinggiran) itu untuk bertahan hidup dengan menjual
dagangan / jasanya. Nongkrongin atau menjajakan dagangannya berjam-jam
dibawah terik matahari dan hujan, di pinggiran jalanan yang penuh asap
kendaraan bermotor dan debu jalan. Berjalan keliling kota ditengah ribetnya
lalu lintas kota. Gak bisa duduk nyaman sampe badan pegel,
apalagi kalo penjualnya sudah lanjut usia. Pernah kebayang nggak
seandainya kita yang menjadi mereka? Apa kita sanggup?
Aku
jadi teringat kejadian waktu aku dan seorang temanku membeli sate ayam di
sebuah warung tenda di daerah Ngagel Jaya Barat. Karena warung sate ini cukup
terkenal, maka tidak jarang yang datang pun orang-orang bermobil. Pada saat
kami sedang antri nungguin sate kami, lewat seorang bapak tua dengan
gerobak kacang kuah dagangannya. Seorang ibu yang kami lihat datang dengan
mobil mercy, yang sedang makan sate di warung itu segera memesan semangkuk
kacang kuah dari bapak itu. Kacang kuah seharga 4 ribu rupiah itu ditawarnya
menjadi 3500 rupiah. Eh, udah gitu masih minta tambah kacangnya yang
banyak lagi. Aku dan temanku hanya bisa berpandang-pandangan menyaksikan hal
itu. Aku yakin apa yang sedang kami pikirkan adalah sama. Betapa teganya
seorang kaya melakukan hal seperti itu terhadap pedagang tua miskin itu. Apalah
arti uang 500 rupiah bagi ibu itu? Sedangkan bagi bapak tua yang sudah
menjajakan kacang kuahnya selama berjam-jam keliling kota itu, aku yakin pasti
sangat berarti.
Seringkali
kita berusaha melakukan hal-hal yang menguntungkan bagi diri kita sendiri,
tanpa mempedulikan dampak dari perbuatan kita bagi orang lain. Seandainya kita
yang diperlakukan seperti itu, bagaimana perasaan kita? Aku bersyukur bisa
mendapatkan kesempatan menjadi pedagang kaki lima menemani adik-adik di
sanggar. Aku jadi bisa merasakan bagaimana susahnya mencari sesuap nasi bagi
orang-orang pinggiran. Semoga dengan pembelajaran ini, aku bisa lebih baik dan
lebih manusiawi lagi dalam memperlakukan orang lain, terutama mereka yang
miskin dan menderita. Amin.
Oleh : Lea Benedikta
Luciele
Dimuat dalam buletin Fides et Actio
edisi Juli, No.49 thn 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar