Namanya
Pak Hamid atau Pak Damid??? Aku kurang tahu pasti. Karena aku tak dapat
mendengar dengan jelas suara lirihnya. Aku sampai menanyakan namanya dua kali
tapi tetap saja aku tak bisa menangkap dengan jelas nama yang diucapkannya.
Suara lirihnya semakin tenggelam ditelan bisingnya lalu lalang kendaraan
bermotor di jalanan yang hanya berjarak beberapa meter di hadapan kami. Kalau
begitu, anggap saja namanya benar Pak Hamid.
Usianya
70 tahun. Sehari-hari berjualan krupuk samiler (krupuk yang terbuat dari
singkong). Tempat mangkalnya berpindah-pindah. Beberapa kali aku melihatnya
mangkal di teras Indomaret Ngagel Jaya, tempat yang hampir tiap hari aku
kunjungi, bukan untuk belanja tapi sekedar ke ATM karena tuntutan tugas.
Demikian
juga siang tadi sepulang kerja aku mampir kesana untuk melakukan pembayaran
urusan kantor. Dan untuk kesekian kalinya aku melihat Pak Hamid mangkal di
posisi biasanya.
Aku
memarkir motorku di dekat beliau mangkal. Saat melihatnya aku sempat kepikiran
untuk membeli krupuk samilernya, bukan karena aku doyan banget tetapi karena
jatuh iba melihat dagangannya masih banyak. Tapi aku agak ragu karena aku
sedang agak batuk dan tenggorokanku agak sakit. Sambil bertransaksi di depan
ATM hatiku terus bergulat akankah membeli krupuknya atau tidak. Dari balik
kaca kulihat ada dua orang gadis remaja membeli dagangan Pak Hamid dan nampak
mereka berbincang sejenak.
Aku
melangkahkan kaki keluar Indomaret sambil tetap memegang dompetku. Aku putuskan
untuk membeli dagangannya. Kalaupun aku tidak memakan sendiri krupuknya,
setidaknya bisa kuberikan kepada orang lain, pikirku. Aku pun berdiri di depan
pria berkulit gelap berwajah sayu itu dan menanyakan harga krupuknya untuk
membuka pembicaraan. Sebenarnya aku sudah tahu harganya Rp. 10.000,- per 3
bungkus karena aku pernah membeli sebelumnya, tapi aku tetap saja
menanyakannya.
Kalau
sebelumnya Pak Hamid tidak banyak bicara, entah mengapa kali ini sambil
melayaniku Pak Hamid tiba-tiba bercerita bahwa beliau tidak bisa bicara keras
karena habis operasi tumor di tenggorokannya sekitar Lebaran tahun lalu.
Terpancing oleh ceritanya, akhirnya aku pun menimpali dengan
pertanyaan-pertanyaan sambil jongkok di depannya. Tak lama kemudian aku pun
beralih duduk di sampingnya dan mendengarkan sekelumit kisah hidupnya.
Mendengarkan dengan konsentrasi tingkat tinggi agar aku dapat menangkap dengan
baik suaranya yang sangat tidak jelas itu. Tak jarang aku harus bertanya ulang
padanya.
Pak
Hamid bercerita bahwa sejak menjalani operasi tumor sebanyak dua kali di Blora
dan Semarang, suaranya menjadi nyaris hilang, nampaknya pita suaranya terkena
imbasnya. Pertama kali tumornya dioperasi di Blora, tempat asalnya, namun
karena kurang bersih akhirnya harus dioperasi lagi di Semarang.
Jauh-jauh
dari Blora ayah beranak lima yang kesemuanya sudah berumah tangga ini membawa
sepikul krupuk samiler buatan anaknya untuk dijual di Surabaya. Apabila
dagangannya habis, beliau pulang ke Blora untuk mengambil stok krupuk yang
baru. Untuk menghabiskan dagangannya butuh waktu 2 – 3 hari dan selama itu
beliau tidur di warung-warung di daerah Pasar Pucang. Uang sebesar Rp.
300.000,- sampai Rp. 400.000,- didapatnya dari hasil berjualan. Penghasilan itu
masih harus dipotong ongkos perjalanan naik angkot dan bus dari Blora –
Surabaya PP sebesar Rp. 80.000,- Belum lagi biaya makan dan minumnya selama di
Surabaya. Keuntungan bersih yang didapatnya tidaklah banyak, namun beliau tetap
bertahan dengan pekerjaannya itu. Daripada menganggur, katanya.
Melakukan
pekerjaan yang lain beliau tidak mampu karena napasnya sudah tidak kuat
lagi. Ketika ditanya kenapa tidak berjualan di kota kelahirannya saja, beliau
hanya menggeleng dan berujar “Tidak”, dengan lirih. Entah mengapa, aku
belum tahu alasan sebenarnya. Akhirnya, di usia senjanya, berjualan krupuk
samiler menjadi pilihan satu-satunya dan pilihan terakhirnya untuk mendapatkan
rejeki yang halal sebagai penyambung hidup, yang sudah ditekuninya sejak jaman
pemerintahan presiden Gus Dur.
Sebelum
menjadi penjual krupuk samiler, pria yang tinggal seorang diri di rumahnya
sejak ditinggal mati istrinya lebih dari 1000 hari yang lalu ini, dulunya
pernah menjadi penjual kayu jati yang sudah dipotong. Namun sayang sekali usaha
itu akhirnya macet karena harus ‘nyangoni’ oknum Perhutani yang kerap datang ke
tempatnya.
*
Seringkali
kita menjumpai orang-orang yang demi menyambung hidup harus melakukan hal-hal
yang membuat kita tidak habis pikir mengapa mereka mau melakukannya. Jaman aku
kecil ketika aku masih tinggal di kota kelahiranku, ada bapak tua penjaja arang
yang berjalan kaki belasan bahkan mungkin puluhan kilometer dari dataran tinggi
ke kota sambil memikul arang yang sangat berat, yang hanya dihargai uang yang
nilainya sangat tidak sebanding dengan beratnya perjuangannya. Demikian halnya
dengan yang dilakukan Pak Hamid. Menempuh perjalanan selama 8 jam dari Blora ke
Surabaya hanya untuk berjualan krupuk samiler yang harganya sangatlah
murah.
Melihat
usaha orang-orang seperti mereka, tentu saja mereka bekerja bukan untuk kaya,
karena nampaknya mustahil mereka bisa menjadi kaya dengan cara kerja seperti
itu. Lalu mengapa mereka rela berjuang sampai segitunya?
HARGA
DIRI. Itulah yang kulihat dari orang-orang semacam itu. Orang-orang berusia
senja dengan sumber daya yang minim - yang tetap bersemangat menyambung sisa
hidupnya dengan mendapatkan rejeki yang halal - dengan kekuatan dan kemampuan
diri sendiri, meski mungkin tidak tersisa banyak. Bukan hidup dari
meminta-minta belas kasihan orang lain. Bukan hidup dari cara yang merugikan
orang lain. Dengan sisa tenaga yang ada, sampai akhir mereka tetap berjuang di
tengah kerasnya dunia. Mereka berjuang agar hidup mereka tetap berharga, bukan
harga yang dinilai dengan rupiah melainkan jauh lebih bernilai dari itu, yaitu
harga diri.
Banyak
orang yang dipandang kecil oleh dunia semacam Pak Hamid di sekitar kita. Jika
berjumpa dengan mereka, tidak ada salahnya kita membeli dagangan mereka meski
tidak membutuhkannya, daripada sekedar memberikan uang sedekah yang mungkin saja
melukai harga diri mereka. Karena dengan membeli dagangan mereka, kita tidak
sekedar menyelamatkan dapur rumah mereka namun juga harga diri mereka.
Membuat mereka merasa bahwa keberadaan mereka di tengah dunia ini masih
berarti.
*
Tak
terasa kurang lebih 30 menit lamanya aku ngobrol dengan Pak Hamid. Hati ini
masih ingin terus lanjut mendengarkan kisah perjuangan hidupnya, namun waktu
yang tak memungkinkan karena aku harus menghadiri suatu acara. Akhir kata, aku
pun berpamitan dengan Pak Hamid dan sambil kuulurkan tangan untuk bersalaman
dengannya, kujanjikan untuk ngobrol-ngobrol lagi jika kami berjumpa lagi.
Kunyalakan mesin motorku, untuk terakhir kalinya kuanggukkan kepalaku pada Pak
Hamid dan kupacu motorku...
Oleh : Lea Benedikta
Luciele
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi no.91, Januari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar