Setiap tahun aku menyempatkan untuk pulang kampung setidaknya tiga
kali, yaitu saat Natal, Paskah dan Lebaran. Dalam tiap kesempatan pulang
kampung memang sering kutemui hal-hal baru. Jalan tanah yang becek saat hujan
sekarang berubah menjadi jalan beraspal, beberapa teman sekolahku sekarang
sudah dipanggil kakek lantaran sudah punya cucu dan rumah-rumah baru
bermunculan di sepanjang jalan kampungku meski awalnya dulu adalah kebonan yang penuh dengan pepohonan. Pemuda-pemudi
yang lalu lalang di jalan depan rumah juga tak banyak yang kukenal meskipun
mereka sebenarnya adalah anak dari warga kampungku.
Tetangga seberang jalan juga semakin banyak. Namun banyaknya
tetangga tidak menambah keakraban ketetanggaan kami. Kami bertegur sapa
seperlunya saja. Tidak jarang kami yang sebenarnya tetanggaan ini melintas di
jalan depan rumah dengan sepeda motor tanpa menoleh sama sekali ke tetangga
kanan kiri untuk saling bertegur sapa. Tak kutemui lagi budaya ngertakne (menyambut tamu atau orang
yang lama tidak ketemu dengan menayakan bagaimana kabarnya) yang merupakan
kebiasaan khas masyarakat desa. Tetangga seberang jalan yang kusapa hanya
membalas dengan anggukan dan senyum kecil tanpa secuilpun kata terlontar.
Mungkin kata-kata juga tak terlalu berguna karena gemuruh suara kendaraan yang
melintas di jalan tak memberi kesempatan bagi suara percakapan bisa terdengar
di telinga dengan jelas. Jalan depan rumah yang sudah beraspal ini seakan
menjadi pembatas interaksi sosial kedesaan kami. Kupandangi jalan dan
kubayangkan saat-saat manakala jalan ini masih berupa jalan tanah.
Masih bisa kuingat bebatuan yang menghiasi jalan. Di ujung jalan
ada tanjakan yang bisa sangat licin saat hujan tiba. Samping kanan dan kiri
jalan ada banyak juglangan ( lobang galian untuk menahan air) dengan jarak sekitar
100 meteran. Meski demikian, warga sangat kenal dengan jalan ini sehingga
jarang sekali terjadi ada orang terpeleset di tanjakan atau terperosok di juglangan. Orang juga sangat nyaman
berjalan di malam hari meski jalan gelap gulita karena listrik belum masuk ke
kampung. Jarang terlihat mobil yang lewat jalan ini, biasanya cuma satu atau
dua sepeda motor saja yang lewat. Yang terbanyak adalah pengguna sepeda pancal
dan pejalan kaki. Rumah masih tidak terlalu padat. Di antara rumah satu dengan
rumah lain selalu ada jalan setapak penghubung, bahkan di jalan depan rumah itu
ada alur jalur jalan laki yang melintas di jalan utama yang menandakan bahwa
interaksi antara warga kampung cukup intensif. Meski masih berupa jalan tanah,
tetapi jalan depan rumah ini menjadi jalan penting bagi warga.
Jembatan penghubung kampung juga sudah jadi sehingga akses ke
pasar ataupun ke tempat praktik mantri kesehatan menjadi kelih mudah.
Dengar-dengar, setelah jembatan selesai dibangun, pemerintah akan segera mengaspal
jalan yang mengarah ke kampung. Tentu akan menjadi hal yang menggembirakan jika
berita itu memang benar.
Tentu tak terbilang rasa gembira warga saat TNI bersama petugas
pembuat jalan datang ke kampung guna mengaspal jalan. Bentuk kegembiraan itu
tercermin dari antusias warga yang bergotong-royong menata pecahan-pecahan batu
secara sukarela. Para ibu sibuk membuat kopi, teh dan gorengan untuk para
tentara dan petugas pembuat jalan yang dari pagi bahu membahu meratakan jalan.
Entah apa yang dirasakan warga saat itu sehingga meskipun mereka tahu bahwa
pengaspalan jalan itu adalah program yang sudah didanai pemerintah secara
lengkap, tetapi mereka masih juga mau bergotong royong dan melepaskan helai
kertas dari dompet mereka yang sebenarnya sangat tipis.
Ternyata pengaspalan jalan itu berlangsung terus dan sambung
menyambung sampai desa-desa berikutnya. Kini jarak tempuh antar desa terasa
semakin pendek. Sepeda motor dan sepeda pancal bisa berlalu dengan lancar dan
cepat. Saat musim hujan tiba, tak ada lagi jalan berlumpur pun raungan mesin mobil yang berusaha meloloskan
diri dari jebakannya. Jalan depan rumah orang tuaku kian ramai dengan lalu
lalang kendaraan baik kendaraan warga kampung sendiri maupun warga kampung
sebelah. Jalan ini menjadi jalan utama bagi empat kampung untuk akses ke pasar.
Dulu orang harus mengambil jalan memutar untuk bisa menikmati jalan beraspal.
Sekarang tidak lagi. Itulah sebabnya mengapa jalan yang dulunya sepi itu kini
jadi ramai.
Secara ekonomi, jalan yang mulus ini juga menguntungkan warga yang
sebagian besar adalah petani. Mereka tak lagi sabar menunggu mobil tengkulak
yang datang untuk memborong hasil panenan dengan harga murah. Mereka bisa
langsung membawanya ke pasar dan bernegosiasi sendiri dengan para pembeli atau
pengepul di pasar. Dengan demikian para petani sedikit punya peluang untuk
mendapatkan harga yang lebih baik dari pada harga yang dipatok tengkulak. Jalan
ini telah menjadi nafas baru bagi perekonomian warga kampung. Singkatnya,
semangat bisnis warga mulai bangkit dan jalan ini kian ramai oleh lalu lalang
kendaraan.
Namun kadang berita buruk tersiar juga. Ada berita bahwa salah
seorang warga tertabrak sepeda motor dan harus dilarikan ke rumak sakit. Anak
Pak Suntari yang masih duduk di bangku sekolah dasar juga mengalami patah
tulang karena sebab yang sama. Di balik kegembiraan warga, ada pula perasaan
was-was para orang tua terhadap keselamatan anak-anaknya yang belum adaptif
terhadap pola perubahan baru di jalan depan rumah mereka.
Sebagian warga malah membuat pagar bambu untuk menutup gapura
depan rumah untuk membatasi anak mereka yang masih kecil agar tak bermain di pinggir
jalan. Kini jalan beraspal bukan hanya sebagai kesempatan tetapi juga ancaman. Anak
kecil tak bebas menyeberang jalan seperti dulu lagi. Kini halaman rumah yang
dulunya selalu penuh dengan anak-anak kecil yang bermain masak-masak atau
engkle menjadi sepi. Anak-anak di seberang jalan tak lagi bermain di bawah
pohon mangga depan rumahku. Mereka memilih untuk bermain di rumah. Tentu bukan
kemauan mereka sepenuhnya karena orang tualah yang memang melarang mereka untuk
bermain di seberang jalan mengingat Orang tua tidak bisa terus-menerus
mengawasi anak. Sepanjang siang anak-anak tinggal sendiri di rumah dan orang
tuanya pergi ke ladang.
Anak muda yang dulu puas dengan sepeda pancal, kini berlomba untuk
membeli sepeda motor meski harus menjual ternak atau bahkan properti. Layaknya
orang yang kaget budaya, anak-anak muda itu mondar-mandir dengan sepeda motor
barunya dengan kecepatan tinggi meskipun sebenarnya tidak sedang ada acara
penting. Hanya mondar-mandir saja dengan gaya bersepeda yang agak berbahaya karena
mereka sebenarnya belum paham haluan dan tidak memiliki surat ijin mengemudi.
Lambat laun mulai terasa bahwa jalan depan rumah ini telah
memisahkan kami dengan para tetangga seberang jalan. Saat ini tak terlihat lagi
para ibu dari seberang jalan ngumpul di bawah rindangnya pohon mangga depan
rumah. Tak terdengar lagi obrolan tentang ternak, ladang atau panenan yang
biasa mereka perbincangkan sepulang dari ladang. Lalu lalang kendaraan yang
lewat membuat kami malas untuk menyebarang, apa lagi jika itu hanya untuk minta
daun ketela atau pepaya seperti yang dari dulu-dulu sering dilakukan. Daun
ketela dan buah pepaya tak sebanding dengan risiko menyeberang jalan yang padat
dengan kendaraan. Suara mobil dan sepeda yang melintas di jalan menggilas
sapaan antar rumah. Saat kami sedang makan, Kami biasa saling teriak dengan
suara sedang untuk menawarkan makanan ke tetangga seberang jalan. Sekarang tidak ada lagi
hal-hal seperti itu. Kami mulai terpisah.
Oleh : Johanes Lasmidi
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No.92, Februari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar