Jalanan, memang sudah tidak asing
lagi bagiku. Ya, dulu aku pernah dibesarkan oleh jalanan. Jalanan yang telah
mengajari aku tentang bertahan hidup dan arti hidup. Tidak pernah sekalipun aku
menyesali pernah hidup dijalanan. Aku pikir itulah jalan hidupku yang harus aku
lalui. Pertengkaran, pencurian, Narkoba, Miras, dan wanita adalah sesuatu hal
yang biasa aku jalani. Dari kerasnya jalanan itulah pergulatan hidupku mulai
diasah dan diajak untuk berpikir. Apakah aku harus seperti ini terus? Atau aku
harus berubah? Perubahan memang perlu sebuah proses dan penghayatan yang terus
menerus.
Awal perubahan itu terjadi ketika
aku menjadi salah satu anggota redaksi dari Majalah Duta GKJW di Malang.
Disitulah aku mulai digodok oleh teman-teman Duta, diajak berpikir dan merenung
pada sebuah permasalahan yang tidak pernah terpikirkan olehku. Berat sekali
rasanya, apalagi ada saat-saat aku harus reportase dan menuliskan hasil
reportaseku. Namun dari kegiatan reportase itulah aku dipertemukan dengan berbagai
permasalahan, kegelisahan dan ketidakadilan baik itu dari pemerintahan maupun
dari gereja. Suatu ketika majalah yang sedikit sudah bisa mengubah pola pikir
dan jalan hidupku harus ditutup. Pergulatan batinku mulai berkecamuk lagi.
Apakah aku harus kembali ke jalanan lagi? Ya, memang aku tidak lagi turun ke
jalanan, tapi aku kembali masuk pada jaringan penjualan wanita. Aku mendapatkan
banyak uang dari bisnis itu. Tetapi aku tidak nyaman dengan semua itu, aku
merasakan pertentangan batinku kian tak terkendali. Aku putuskan, aku harus
mencari kerja yang halal.
Akupun mendapatkan tawaran kerja
ke Jakarta, dan aku akhirnya bekerja disana. Dengan gaji yang lumayan banyak,
akupun betah bekerja. Sudah barang tentu, yang namanya Jakarta menyediakan
bermacam-macam kebutuhan yang kita inginkan. Akupun mulai terbuai oleh rayuan
Kota Metropolitan itu, aku mulai lagi dengan kesenangan-kesenangan sesaat itu.
Sampai suatu ketika, aku mendapat SMS dari Mas Anom,yang dahulu Pimpinan
Redaksi Majalah DUTA. “Awakmu gelem kerja
ning sanggare Rm.Wawan?Iki lagi butuh uwong, sanggar iki ngopeni anak-anak
pinggiran karo anak-anak jalanan. ”. Aku bingung harus menjawab apa? Lama
aku berpikir dan merenung, harus jawab apa tawaran itu? Aku bisa apa di sanggar
itu? Kemampuan akademis jelas tidak ada yang bisa aku andalkan, apalagi aku
harus menghadapi anak-anak. Apa tidak takut mereka nanti dengan wajah sangarku?
Tawaran itu akhirnya aku terima.
Akupun ke Surabaya untuk melihat keberadaan Sanggar itu. Setelah bertemu dengan
Romo Wawan, aktivitasku di sanggar mulai berjalan. Disinilah awal dari
perjalanan baru hidupku. Aku harus berhadapan dengan anak-anak yang sangat
nakal dan susah diatur. Awalnya aku sangat keras kepada mereka, kadang aku
menjewernya dan memukulnya. Itulah yang aku lakukan ketika ada anak yang
bersalah, sama juga ketika aku dipukul waktu kecil oleh orang tuaku. Akupun
mengembalikan tindakanku pada diriku sendiri. Aku ingat ketika aku dipukul pada
waktu kecil, aku tidak jera, malah cenderung lebih nakal. Sedikit demi sedikit
aku belajar untuk menjadi seorang pendamping yang dapat mengerti anak-anak.
Waktu kunjungan ke rumah anak-anak, aku semakin disadarkan oleh kondisi
anak-anak yang membuat mereka nakal dan susah diatur. Aku melihat anak-anak
kurang diperhatikan orang tuanya, memang karena kebutuhan ekonomi yang membuat
situasi seperti ini. Dari berkunjung ke rumah anak-anak dan terus berinteraksi
dengan mereka, akupun tahu kalau mereka hanya butuh diperhatikan dan
didengarkan. Memang butuh sabar dan terus belajar memahami dunia anak-anak.
Roda kehidupan terus berputar, ketajaman hati, pikiran , dan laku hidupku terus
diasah di Sanggar Merah Merdeka.
Selain mendampingi anak-anak di
sanggar, aku mendapatkan tugas juga untuk mendampingi anak-anak jalanan. Aku
sebenarnya merasa lucu juga, dulu aku jadi anak jalanan, sekarang aku harus
mendampingi anak jalanan juga. Sebenarnya kalau dibilang mendampingi aku belum
sampai disitu, aku masih berusaha mengenal mereka. Sekarang aku sudah banyak
mengenal anak-anak jalanan dan anak-anak PUNK yang ada di daerah Panjang Jiwo
dan Wonokromo. Aku juga menjalin perkenalan dengan Ibu dan anak-anaknya yang
berjualan Koran di daerah Plasa Marina. Kembali aku dihadapkan pada cermin
diriku, aku tahu kalau aku dulu juga sama seperti mereka. Harus aku apakan
mereka? Akupun masih hanya bisa sekedar menemani mereka ngobrol, dan bersenda
gurau. Aku senang mereka merasa nyaman dengan kehadiranku.
Sudah barang tentu kehidupan
jalanan tak lepas dari masalah, salah satu yang sekarang menjadi perhatianku
adalah adanya Undang-undang no.6 tahun 2011 tentang penyelenggaraan
perlindungan anak.Yang terjadi kemudian adalah pemerintah daerah melarang
anak-anak mengamen ataupun berjualan Koran di jalan. Kalau melihat tujuannya
jelas sangat baik, menghindarkan anak-anak dari kerasnya kehidupan jalanan.
Namun yang terjadi sekarang, anak-anak yang ngamen, jualan Koran, harus
ditangkap dan dibawa ke Lingkungan Pondok Sosial (LIPONSOS). Katanya mereka
dibina, tapi sepengetahuanku mereka dibiarkan saja. Kalau toh ada, itu tidak
sesuai dengan bakat dan minat anak-anak tersebut. Dan yang mengherankan,
penangkapan anak-anak itu tidak hanya oleh Satpol PP, tetapi juga para Polisi
berpakaian preman. Lucunya lagi, dari hasil penangkapan itu mereka mendapat
poin untuk proses kenaikan pangkat. Aku belum bisa apa-apa dengan Perda itu,
yang aku lakukan sementara ini adalah ketika anak-anak ada yang tertangkap,
biasanya aku membantu proses pengeluaran mereka dari LIPONSOS. Aku merasa
kasihan kalau mereka berlama-lama disana, karena tempat penampungannya
dijadikan satu dengan para gelandangan dan pengemis. Dari tertangkapnya
anak-anak ini pula aku belajar bagaimana menangani birokrasi dan bertemu dengan
orang-orang pemerintahan. Memang masih perlu belajar lagi, aku merasa banyak
hal yang harus aku ketahui untuk mendampingi anak-anak di sanggar dan jalanan.
Memang tidak bisa dipungkiri, perjumpaanku dengan anak-anak banyak mengubah
cara pikir dan tindakanku. Terimakasih untuk Romo-romo di Yayasan Kasih Bangsa
Surabaya yang telah banyak membimbing, teman-teman yang selalu mendukung dan
anak-anak di sanggar yang selalu menjadi inspirasiku. “Mari jadikan hidup lebih
berarti.”
Koordinator Jalanan
Sanggar Merah Merdeka
(dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No.22 April 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar