Romo Mangun sering menyebut perjumpaan tradisi Jawa yang patuh nrimo dengan perilaku feodal penjajah
kolonial sebagai sebuah “tumbu oleh
tutup”, sebuah keranjang mendapatkan tutupnya. Ia menyebutkan demikian
karena keduanya menjadi saling melengkapi dalam membangung karakter masyarakat
Jawa, yang kadang terbelenggu rasa sungkan
dan nrimo terhadap apapun yang
digariskan atasan. Saya merefleksikan
kembali pengalaman-pengalaman nyata di jaman mutakhir berikut ini sebagai
sebuah mosaik pembelajaran menjadi manusia merdeka.
Bukan Subordinatif
Pada akhir Februari 2008 saya sempatkan melakukan pemeriksaan kesehatan di
sebuah klinik
pemeriksaan kesehatan di Surabaya. Begitu mendekati pintu kaca, pintu tersebut
membuka dengan sendirinya, bukan karena otomatis melainkan karena dibukakan oleh seorang penjaga pintu. Saya
langsung terpana karena yang membukakan pintu adalah seorang lelaki
berpenampilan halus, mengenakan pakaian biru teduh, dengan membungkukkan badan,
lengkap dengan jempol yang mempersilakan saya duduk. Iapun dengan badan terus
membungkuk-bungkuk mengambilkan saya kartu antrian untuk menghadap customer service.
Spontan pikiran saya lari pada para jongos jaman Belanda dalam film-film
perjuangan, mirip para buruh tani menghadapi tuan tanahnya. Karena belum habis terpana dengan pemandangan itu, saya
tak pedulikan urutan saya. Saya tetap duduk mengamati bagaimana setiap orang
masuk diperlakukan sama oleh lelaki lembut tadi.
Dua hari sesudahnya saya bertemu dengan seorang kawan yang bekerja di
bagian pemasaran di sebuah toko buku paling mentereng di Surabaya. Saya
menceritakan kegundahan saya melihat pemandangan pria lembut di klinik itu. Kawan saya tersebut
spontan menjawab ”Itu hasil dari kampanye management
with heart, managemen dengan hati.” Wow, mendengar istilah yang menggunakan
Bahasa Inggeris itu tentulah
sebuah ajaran dari luar negeri yang cenderung dianggap lebih modern oleh
para manager negeri ini. Pria lembut tadi pasti hanyalah seorang karyawan yang mencoba
taat pada instruksi untuk mempraktekkan pelayanan model demikian. Ia juga
memikul tanggung jawab untuk melayani, ”menyenangkan” pelanggan, dengan
mengangkat tinggi-tinggi harga diri pelanggan yang datang.
Akan tetapi sikap berlebihan yang dibangun oleh managemen yang demikian itu
tak jarang memupuk sikap subordinatif yang menekankan pergaulan yang diukur tinggi
rendahnya seseorang. Alhasil, sikap ini tak lagi menunjukkan respek, tetapi
menjukkan sikap inferior (merasa
rendah), yang seperti keping uang yang pada sisi lainnya menampilkan sikap superior (merasa tinggi) siapapun yang
bermimpi menjadi “juragan” bagi yang lain. Akhirnya, yang terjadi bukan
terbangunnya managemen modern, bukan managemen dengan hati, melainkan bangkitnya
managemen kolonial. Mimpi merdeka kita menjadi sangat supervisial, hanya terjadi di permukaan.
Yang Kita Perlukan Adalah Respek
Waktu longgar memberi kesempatan pada saya untuk menikmati kopi setengah
siang di sebuah toko Dunkin Donut di kawasan Washington Avenue, Philadelphia.
Saya dibuat terpana oleh pengalaman berikut. Seorang anak lelaki kulit hitam (sebutan
untuk masyarakat berdarah Afrika di Amerika) sekitar delapan tahunan mengikuti
ibunya memasuki pintu toko. Ia tak sekedar melepaskan pintu, tetapi menoleh ke
belakang dan menahannya. Ia tahu bahwa dibelakangnya adalah seorang ibu dengan troly (kereta) bayi. Melihat seorang
anak yang membantunya itu ibu bayi tersebut berseru, “No, let me do, thanks.
(Sudah, biarkan saya yang melakukannya, makasih.” Dan anak kecil tadi berseru balik “Let me help
you (Biarkan aku membantumu)” Bisa
diduga, ibu tadi sangatlah berterimakasih dan memuji anak itu.
Saya yang duduk di dekat pintu tak sekedar kagum, tetapi belajar sesuatu
yang penting di dalam hidup ini, bahwa kemerdekaan yang sejati terbangun ketika
yang seorang memberi sikap hormat atau respek
dengan yang lain, mau melayani yang lain
(yang lemah), dan mengapresiasi apa yang baik yang dilakukan sesamanya.
Tentulah dimaklumi kalau seandainya anak tadi dianggap lebih lemah dan
dibiarkan sekedar masuk ke toko tanpa memperhatikan orang lain. Tetapi lebih
dari pada kesadaran itu, anak tadi membaca kelemahan perempuan dibelakangnya.
Meski otot lebih kuat dan usia lebih dewasa, akan tetapi perempuan tadi
dilihatnya dalam posisi lebih memerlukan bantuan dari pada dirinya. Nampaknya sikap
itu sudah bukan lagi menjadi rentetan logika yang harus dikatakan mulut anak
itu, tetapi sudah menjadi gerak reflek dan spontan, yang menunjukkan pembiasaan
hidupnya. Kalaulah anak itu tidak tidak ranking satu di sekolahnya, wajahnya
pantas di pajang di majalah dinding sebagai guru kehidupan.
Sikap anak tadi mengundang banyak pertanyaan dalam benak saya. Pendidikan
macam apa yang ia alami dan hayati.
Bagaimana sekolah dan keluarga mengajarkan dan menanamkannya. Apa yang diprioritaskan
dalam pendidikan masyarakat. Lebih baik, pertanyaan itu kita jawab bersama.
Parno Ignatius
dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 19, Januari 2012
dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 19, Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar