Kutatap satu persatu wajah-wajah di sini. Wajah-wajah lelah. Marah. Tegang. Berpengharapan hanya setengah. Mungkin malah kurang dari itu. Itu pun kalau masih tersisa. Apa yang ada di benak mereka? Apalagi kalau bukan ancaman penggusuran….
Mereka tidak sungguh tahu mengapa rumah-rumah mereka harus digusur. Tidak ada pemahaman yang pasti. Hanya kira-kira, prasangka, dugaan. Bahwa stren kali akan dijadikan daerah pariwisata sungai dengan biaya ADB. Kira-kira seperti itu. Sekali lagi, hanya dugaan. Justru karena hanya dugaan, amarah menjadi penguasa orang-orang ini. Merasa dikorbankan. Merasa dikalahkan demi sebuah pariwisata. Dianggap hanya sampah yang cuman pantas dibuang.
Mengapa para penguasa nan arif budiman tidak pernah berbicara kepada mereka? Mengapa sosialisasi tidak pernah jalan? Mengapa selalu “tidak ada di tempat” tiap kali para “yang terhormat” didatangi dan ditanyai? Apakah orang-orang ini hanyalah anak-anak yang tidak bisa berpikir sendiri, sehingga harus ada seorang bapak yang membuatkan keputusan bagi hidup mereka? Apakah mereka hanyalah sekumpulan binatang dengan perasaan tumpul dan otak macet, sehingga tidak perlu lagi ditanya? Mengapa penjelasan memadai kepada orang-orang seperti ini tidak pernah dirasa perlu?
Hati kembali teriris teringat penggusuran awal Mei lalu. Haruskah orang-orang ini diperlakukan seperti binatang yang dihancurkan dan diusir? Manusia…siapakah yang masih manusia?
Oleh : Rm. M. Rudy Hermawan CM
dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi bulan Juni No.60 thn 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar