Walaupun bekerja di restoran, tak
membuat Iskandar (62) betah. Ia merasa kerja di restoran upahnya kecil dan
terkekang sehingga dia memilih jadi pemulung.
Iskandar lahir di Jombang, 5 Mei
1950. Ia memilih bermigrasi ke kota pahlawan sejak usia 9 tahun saat masih
kelas 3 SD karena dimarahi orang tuanya.
“Saudara saya yang mengambil uang
ayah, tapi saya yang dimarahin. Saya sudah jelaskan, orang tua tetap
marah-marah. Saya akhirnya pindah ke Surabaya karena tak mau di keluarga riuh
dan ada pertengkaran berkelanjutan,” ucapnya.
Setibanya di Surabaya, ia hidup
di jalan selama satu minggu. Selama hidup di jalan, ia bertemu dengan
distributor koran, lalu ditawari jualan koran. Ia tak berpikir lama dengan
tawaran tersebut. Esok harinya langsung menjual koran di setiap lampu merah dan
keliling.
Tiga bulan kemudian, ia ditawari
bosnya melanjutkan sekolah. Ia pun sekolah mulai SD hingga SMP dengan dibiayai
bos distributor koran. Ia senang bisa kerja dan sekolah gratis hingga SMP.
Ketika bosnya meninggal dunia, ia
bingung dan sedih. Bagi Is, sapaan akrab Iskandar, sang majikan tidak hanya
sekedar memberikan pekerjaan tapi lebih dari pada itu. Sang majikan bisa
menjadi keluarga yang mencintai dan memberikan kasih sayang secara tulus.
Tak lama kemudian setelah bosnya
meninggal dan sudah lulus SMP, Is pergi dan pindah pekerjaan.
Kakek lima cucu ini bekerja di
restoran selama 3 tahun. Namun, karena upahnya kecil dan terkekang, ia berhenti
bekerja. ”Saya bekerja di restoran jadi koki, tapi upahnya sama dengan yang
tukang bersih-bersih. Apalagi bos suka marah-marah, ya mending saya berhenti
kerja,” ungkapnya dengan nada kesal.
Ingin hidup bebas dan bahagia. Akhirnya
jadi pemulung selama 2 tahun. Ketika jadi pemulung, ia menabung mengumpulkan
modal dan kayu bekas. Kayu yang dibuang oleh tukang sampah ia kumpulkan hingga
akhirnya ia buat menjadi grobak jualan dan kursi.
Setelah modal terkumpul dan
grobak pun jadi, ia berjualan nasi goreng bersama sang istri yang baru saja ia
nikahi. “Saya jualan nasi goreng selama 15 tahun. Istri yang belanja, saya yang
jual,” imbuhnya dengan muka terseyum.
Saat usia 50 tahun, hidupnya Is
kembali suram tatkala sang istri meninggal dunia. Ia kembali jadi pemulung
karena tidak ada teman untuk jualan.
Meskipun ia nikah kembali setelah
tiga tahun ditinggal istri pertama, ia tetap memilih jadi pemulung.
Baginya, menjadi pemulung bisa
berangkat kapan saja, sesuka hati. “Jadi pemulung itu, jadi buruh, ya jadi bos,
bebas menjadi manusia merdeka. Berbeda ketika bekerja dengan orang lain, sudah
benar, tetap aja salah. Intinya jadi buruh itu gak enak,” tuturnya.
Is setiap hari bekerja hanya 5
jam mencari sampah. Pagi dua jam setengah dan sore juga sama.
Di usianya yang sudah renta, ia
tetap jadi pemulung. Sang anak meminta ia berhenti jadi pemulung dan hidupnya
akan ditanggung, namun ia tolak. Ia sudah terbiasa kerja dan kalau punya uang,
bisa memberi untuk cucunya.
Meskipun bekerja jadi pemulung
bagi kebanyakan orang tidak manusiawi, Is tetap ingin jadi pemulung karena
tidak punya beban dan ribet. Tidak perlu ada intrik, lobi sana sini, fitnah
kesana kemari. Tidak perlu menghitung untung rugi. Tinggal menjalani aja.
Apapun pekerjaannya, yang penting
tidak merugikan orang lain. It is fine!
Oleh
: Mahrawi
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi no. 94, April tahun 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar