Seorang ibu datang menemuiku. Dia duduk agak jauh dariku. Ini
sepertinya kebiasaan orang sini kalau bertamu duduknya jauh banget. Mungkin
sebagai sopan santun. Dia bercerita kalau suaminya sudah meninggal. Anaknya 3.
Anak pertama kelas 2 SMA, anak kedua kelas 3 SD dan paling kecil masih 10
bulan. Dia ingin menyerahkan anaknya yang SMA kepadaku. Dia berharap aku
menghidupinya dan membiayai sekolah. Kusedot cangklongku, dalam bahasa sini encoy.
Aku jadi bingung. Saat ini aku masih harus membiayai 7 anak SMA.
Dua tinggal di sini dan 5 di Cepu. Memang mereka masih punya orang tua, tetapi
seolah sudah diserahkan padaku. Anakku udah banyak. Kalau ditambah satu lagi
apa mampu? Kusedot lagi encoy. Tetapi
jika tidak dibantu, apakah aku tega menolak permintaan janda miskin? Dia punya
kebun karet tetapi tidak bisa menoreh, sebab tidak mungkin meninggalkan anaknya
yang masih bayi untuk pergi ke kebun karet. Jadi dia hidup ala kadarnya. Jualan
apa saja yang dapat menghasilkan uang. Kutatap asap encoy yang membumbung ke atap. Apa maksudMu Tuhan dengan mengirim
orang ini?
Beberapa tahun lalu kejadian seperti ini pernah terjadi. Suatu
siang teman-teman di rumah singgah telpon kalau ada seorang perempuan
mencariku. Aku segera ke rumah singgah. Disana sudah menunggu seorang ibu muda.
Dia datang padaku sebab diberi tahu oleh seseorang kalau aku bisa membantu. Dia
mempunyai 3 anak. Pertama masih SD, kedua belum sekolah dan yang bungsu masih
berumur beberapa bulan. Masih menyusu. Dia seorang PSK jadi tidak jelas siapa
bapak ketiga anak ini. Dia mau menyerahkan anaknya yang masih bayi kepadaku.
Teman-teman di rumah singgah tidak ada yang dapat menyusui. Akhirnya dia
kusuruh pulang dan aku berjanji akan membantu biaya hidupnya.
Sorenya aku berkunjung ke rumahnya. Sebuah kamar kecil di sebuah
gang sempit. Tempat tidur anak-anaknya menjadi satu dengan dapur. Jadi sangat
kumuh. Aku lalu mengajari anaknya yang SD. Dua hari kemudian aku berkunjung
lagi sebab susu bayinya habis. Ternyata anaknya yang SD membawa temannya untuk
belajar bersama. Akhirnya dari dua tiga anak sampai menjadi puluhan anak
belajar bersama. Aku minta beberapa teman untuk membantu mengajar anak-anak
itu. Proses berkembang sampai akhirnya kami harus kontrak rumah dan akhirnya
beli rumah berhantu yang dijual murah untuk tempat belajar mengajar anak-anak
kampong. Dari kehadiran perempuan yang hendak menyerahkan bayinya akhirnya kami
membuka pelayanan bimbingan belajar.
Bagiku itu kehendak Tuhan agar aku tidak memusatkan diri pada anak
jalanan saja, tetapi juga memperhatikan anak-anak miskin lain yang mungkin bisa
menjadi anak jalanan. Lebih baik mencegah daripada membina anak jalanan yang
sering membuat pusing kepala. Tetapi apakah Tuhan mempunyai rencana lain dengan
kehadiran janda yang menyerahkan anaknya ini? Kusedot encoy lagi, ternyata sudah mati. Semati pikiranku yang berusaha
menemukan jawab dari kejadian ini.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 93, Maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar