Salah satu ponakanku dulu masih ngempeng sampai agak besar. Meski
dotnya udah koyak dan bau, tetapi dia selalu mencari dot itu dan menikmatinya.
Dia tidak peduli meski diolok-olok masih ngempeng. Dia tidak peduli meski
banyak orang merasa aneh melihatnya ngempeng dot yang sudah dapat dikatakan
busuk. Baginya ngempeng adalah sebuah kenikmatan. Bila dot lama diganti pasti
akan ribut dan nangis. Pernah juga sampai demam. Aku lupa kapan persisnya dia
berhenti ngempeng. Apa penyebab dia mampu melepaskan dot kesayangannya.
Seingatku tidak ada pengganti dotnya.
Sebetulnya ada banyak orang ngempeng dalam bentuk lain. Menikmati
kesukaan yang tidak dipahami oleh orang lain. Mereka tetap menikmati meski
banyak orang mengolok, tidak memahaminya, meski barang yang dinikmatinya sudah
kedaluwarsa. Baginya kenikmatan adalah kenikmatan. Kenikmatan yang membuatnya
tergantung. Kenikmatan yang hanya dia sendiri yang mengetahuinya
Seperti ponakanku pasti tidak mudah melepaskan dotnya,
kenikmatannya. Tetapi situasi dan kondisi membuatnya harus mengambil keputusan
untuk mengakhiri kebiasaanya. Aku yakin ini tidak mudah. Membutuhkan keberanian
untuk melepaskan kenikmatan. Berani merasakan hidup yang menjadi tidak nyaman
sebab kehilangan sesuatu yang membuatnya nyaman. Berani melepaskan sesuatu yang
melekat selama beberapa tahun tidaklah mudah. Tetapi akhirnya situasi dan
kondisi serta kesadaran diri mampu mengalahkan kenikmatan.
Dalam hidup kita pun sering terlekat pada sebuah kenikmatan.
Kenikmatan yang hanya kita ketahui sendiri. Kenikmatan kita tidak selalu
mengganggu orang lain. Atau merugikan orang lain. Seperti ngempeng. Tidak
merugikan siapapun juga. Terkadang kita sadar bahwa kenikmatan kita kurang pas
dalam masyarakat, tetapi seringkali kita tidak sadar. Apa yang bagi kita
kenikmatan bisa saja dipandang orang lain sebagai sesuatu yang aneh, sehingga
mereka mengolok-olok. Atau mereka tidak memahami apa sebetulnya yang membuat
kita begitu menikmati kenikmatan itu. Tetapi kita sering kali tidak peduli pada
apa kata orang. Kita hanya berpusat pada kenikmatan kita sendiri.
Tetapi hidup perlu berproses. Tidak stagnan. Manusia pun perlu
berproses. Apa yang dulu baik suatu saat dapat saja dianggap kurang baik.
Ngempeng pada saat kecil dianggap baik. Bahkan orang tualah yang memberi dot
kepada anaknya yang masih kecil. Tetapi kebiasaan itu bila terus dilakukan
sampai besar tentu dianggap kurang baik. Untuk itu perlu ada keberanian dalam
diri kita untuk berani keluar atau melepaskan kenikmatan itu.
Situasi dan kondisi perlu menjadi pertimbangan kita. Apakah kita
akan terus mempertahankan kenikmatanku atau mau berubah. Pandangan dan
penilaian masyarakat pun perlu menjadi pertimbangan agar kita berani berubah.
Misalnya orang tidak mau belajar melainkan menghabiskan waktu untuk menikmati
hidup. Ini memang tidak merugikan orang lain. Orang buta huruf tidak merugikan
orang lain. Tetapi apakah orang akan tetap bertahan menjadi seorang buta huruf
dalam jaman yang terus berubah secara cepat? Untuk itu perlu keberanian untuk
melihat diri. Apakah aku sudah menyesuaikan diri pada jaman ini? Atau aku masih
menikmati masa lalu yang seharusnya sudah harus kuubah? Seperti apakah aku akan
terus ngempeng sampai kuliah? Maka perlu melihat diri sendiri dan berani
berubah. Jika tidak maka kita akan menjadi orang aneh di tengah masyarakat yang
terus berubah.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi no. 101, November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar