Aku teringat saat pohon kelapa masih begitu banyak tumbuh di
kampungku . Anak-anak bermain pedang-pedangan dengan janur kuning, sebagian
lain bermain pecut yang terbuat dari lidi janur yang sangat elastis. Keluarga
biasa berkumpul di serambi sambil membuat dan mengajari anak-anak mereka cara
membuat ketupat. Kerajinan membuat hiasan berbasis janur juga mulai diturunkan
dari generasi tua ke generasi berikutnya seperti pernik-pernik hiasan kembar
mayang dan dekorasi janur.
Di lain kesempatan, anak-anak bermain banteng-bantengan dari
pangkal pelepah daun kelapa. Pangkal pelepah daun kelapa yang dipotong bisa
berbentuk mirip kepala banteng. Anak-anak menirukan gerakan banteng seperti
dalam kesenian bantengan yang sering digelar saat acara bersih desa. Suasana
permainan anak itu bisa semakin riuh karena sebagian anak lain akan membunyikan
iringan musik dengan memukul-mukul kaleng bekas atau kentongan untuk mengiringi
gerakan si banteng.
Saat sore tiba, selalu saja ada aroma khas di kampung ini. Aroma
yang berasal dari asap sabut kelapa yang dibakar di samping kandang untuk
menghalau nyamuk dan lalat yang mengganggu ternak. Di samping kandang ternak
ada kandang ayam dari bambu dengan sejumlah batok kelapa di dalamnya. Batok
kelapa itu dipakai untuk wadah pakan ayam
Kini semua itu tidak ada. Tak ada lagi anak-anak yang bermain
janur atau belajar membuat ketupat. Jika ada janur pun, tak akan boleh untuk
dipakai mainan atau belajar membuat ketupat karena jumlahnya terbatas dan harus
dibeli dari pasar. Tak terlihat lagi gayengnya
berkumpul membuat ketupat bersama
anggota keluarga dan tetangga di teras depan ruman atau di bawah rindangnya
pohon mangga. Tak terlihat kesibukan anak-anak membuat egrang tali dari batok
kelapa. Tak bisa kucicipi lagi sayur pondo yang terbuat dari hati pucuk kelapa.
Iseng-iseng aku bertanya kepada keponakan-keponakanku. Mereka ini
kuanggap sampel dari anak-anak kampung ini. Ternyata mereka tidak bisa
menyebutkan nama tahapan pertumbuhan buah kelapa. Mulai dari manggar (bunga), lalu bluluk (bakal buah), cengkir (kelapa muda yang batok
kelapanya masih lunak), degan (kelapa
muda) dan akhirnya krambil atau klopo
(kelapa tua). Yang mereka tahu adalah degan
dan klopo saja. Mereka tidak percaya
bahwa pondo itu rasanya manis seperti bengkuang dan yang pasti tak ada satupun
keponakanku yang bisa membuat ketupat.
Mungkin orang tua tak punya kesempatan untuk menjelaskkan hal-hal
seperti itu kepada anak-anak mereka karena memang di kampung halamanku sudah
tak ada lagi pohon kelapa. Jika saat ini anak-anak tak tertarik belajar membuat
ketupat mungkin karena mereka juga belum pernah merasakan keriaan bergumul
dengan janur. Jika benar demikian, maka pastilah anak-anak di kampungku tak
pernah mendengar mitos mengenai anak yang tidak bisa membuat ketupat, filosopi
di balik tradisi ketupat lebaran dan nasihat-nasihat bijak yang bisa dituturkan
dari sifat pohon kelapa karena tiga hal tersebut biasa dituturkan orang tua
kepada anak-anaknya saat mereka beramai-ramai membuat ketupat.
Mudik telah usai
Cukup sudah lebaranku di kampung halaman. Aku harus pulang ke
Malang bersama anak dan istriku. Dua hari lagi aku sudah harus masuk kerja.
Pengalaman mengamati perubahan di kampung halaman menginspirasiku untuk
mengajari anakku cara membuat ketupat. Di rumah, setelah beristirahat
melepaskan penat karena perjalanan mudik, aku mengajak anakku untuk belajar
membuat ketupat. Kebetulan ada janur yang kudapat dari saudara yang tinggal di
daerah Ngebruk Blitar. Sepertinya anakku tak tertarik membuat ketupat, karena
terlihat rumit dan membosankan. Tetapi akhirnya malah menjadi kegiatan yang
menyenangkan setelah dia berhasil menyelesaikan satu anyaman ketupat. Aku lega
melihat anakku bisa membuat ketupat dengan pola anyaman yang bahkan lebih rapi
dari yang kucontohkan. “ternyata asyik juga ya membuat ketupat itu!” Serunya.
Akan ada saatnya nanti, aku akan menceritakan kepada anakku
tentang filosopi ketupat agar anakku tumbuh sebagai pribadi yang berani
mengakui kesalahan, berani mengampuni dan memaafkan kesalahan orang lain. Aku
juga akan menceritakan filosopi pohon kelapa, agar anakku tumbuh sebagai orang yang
berkarakter kokoh dan mulia yang berani mengoptimalkan kemampuan demi menjadi
pribadi yang mandiri dan berguna bagi orang lain.
Dalam keasyikan bersama anakku membuat ketupat, Sejenak aku
terdiam karena ada yang terlintas di pikiranku. Aku teringat bahwa balungan atap rumahku ini seluruhnya
berbahan pohon kelapa yang dikirim keluargaku dari kampung halaman. Ya
ampunn!!! Tanpa kusadari, aku sendiri ternyata menjadi salah satu penyebabnya
lenyapnya pohon kelapa dari kampung halamanku.
Oleh : J. Lasmidi (PPS)
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 101, November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar