Sebetulnya aku lupa jalan menuju desa itu, tapi aku nekat saja. Aku yakin dengan bertanya pasti akan kutemukan rumah itu. Aku jauh-jauh dari Surabaya khusus mencari rumah mbah Jito yang kabarnya kemarin meninggal dunia. Beliau orang yang luar biasa maka aku nekat menyewa rental mobil supaya bisa sampai ke rumah mbah Jito dengan lancar.
Syukurlah meskipun agak muter-muter akhirnya kutemukan rumah itu. Itu gunanya teknologi handphone. Rumah kecil disudut jalan itu kesannya kurang terawat. Aku disambut oleh istri mbah Jito dengan derai air mata. Wanita kurus kering ini makin nampak kusut, karena air matanya tak kunjung berhenti. Aku pun diantar ke makam mbah Jito yang masih basah karena baru kemarin jenasah ini dikuburkan di pemakaman ini. Ceritanya, mbah Jito itu dua malam tidak pulang karena berdoa dan tidur di masjid. Besoknya ditemukan warga dalam keadaan sakit. Saat dibawa ke rumah sakit langsung tidak sadar dan besoknya meninggal dunia karena tensinya tinggi sekali.
Mbah Jito hanya lulus SD. Dia punya saudara laki-laki dan juga sudah almarhum tapi pinter sekali dan menjadi kolonel. Jadi hanya ada dua laki-laki, yang satu gak pinter yang satu pinter. Karena hanya lulusan SD, maka dia tidak punya pekerjaan yang baik. Pernah jadi kurir, jadi kuli bangunan, jadi tukang cetak foto. Dan dia juga bekerja berpindah-pindah. Dan sejak bertemu jodoh di masa tuanya dia bahagia dengan istrinya menjadi petani di desa.
Istrinya kebetulan juga sangat sederhana, gak pinter dan hanya lulusan SD juga. Aduh bisa dibayangkan saja, mereka sama-sama polosnya. Tapi itu tidak menghalangi mereka untuk tidak bahagia. Mereka berdua bahagia hidup dari sepetak tanah sawah yang tak seberapa milik istrinya dan juga tidak dikaruniai anak.
Masalahnya karena sama polosnya maka mereka berdua terlalu sering dibohongi. Entah saudaranya entah teman. Bayangkan saja. BPKB sepeda motor harta satu-satunya dipinjam keponakannya untuk jaminan hutang, ya diberikan saja. Padahal keponakannya itu akhirnya menghilang dan mbah Jito jadi yang repot. Bahkan rumah dan sepetak tanah satu-satunya harta yang tertinggal juga menjadi rebutan keponakannya. Setiap punya sedikit uang lebih selalu ada yang tega memintanya dan anehnya selalu diberikan juga. mbah Jito selalu sabar meskipun satu demi satu barangnya habis diambil orang.
Di desa mbah Jito bekerja sebagai Marboot di salah satu masjid dekat rumahnya. Dia terkenal sabar, jujur, polos, lugu dan sangat santun sehingga banyak juga yang kasihan dan mencintai mbah Jito. Aku pernah mengatakan bahwa kalau ada orang yang minta kepalanya mbah Jito, pasti oleh mbah Jito akan diberikan juga. Artinya dia terlalu baik dan tidak tega dengan permintaan apapun dan siapapun. Subuh dia sudah ke masjid bahkan kadang malam dia pulang terlambat kalau di masjid ada banyak acara sehingga dia harus membersihkan.
Suatu hari aku terkejut. Mbah Jito datang ke rumah membawa tas besar. Wow mau kemana orang ini? Ternyata dia minta diantar ke Juanda, dia mau UMROH. Lhadalah kok bisa? Dia kan miskin banget, dapat uang dari mana? Ternyata kepala masjid tempat dia bekerja yang memberangkatkan dia UMROH sebagai tanda terima kasih atas segala jasanya dalam mengurus masjid.
Coba bayangkan saja. Tidak mimpi tau-tau berangkat UMROH gratis. Itu sangat luar biasa. Itulah hadiah dari Tuhan atas kebaikan hati, keikhlasan hati mbah Jito dalam menjalani hidup ini. Seumur hidup dia belum pernah melihat bandara Juanda dan naik pesawat terbang.
Kini marbot yang baik itu telah tiada, tapi orang di desa itu akan tetap mengenangnya. Masjid yang dahulu hanya sebuah mushola kecil dan kini telah jadi masjid besar menjadi sebuah kenangan tersendiri, bahwa pernah ada seorang marbot yang sangat rajin membersihkan dan menjaga masjid itu dengan baik. Tuhan pernah bersabda bahwa kita harus belajar setia pada hal-hal yang kecil maka nanti Tuhan akan memberikan hal yang lebih besar. Dan itu telah dijalankan oleh Mbah Jito dengan penuh iman. Selamat jalan mbah Jito. Tuhan pasti menerimamu dalam pelukanNya.
NB : Marbot itu seorang penjaga masjid yang juga bertugas menjaga kebersihan masjid.
Oleh : Wieke Soesilo Rini
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 105, Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar