Selamat datang di blog kami! Selamat menikmati aktivitas yang kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Bila ada pertanyaan seputar aktivitas kami, silakan kirim ke alamat email kami: sekretkasihbangsa@gmail.com. Kunjungi pula situs kami di https://ykbs.or.id - Terima kasih...

Selasa, 23 Juli 2024

Menjadi Manusia yang Terbatas

Tim Assesment memegang peranan krusial dalam tindak-tanduk Solidaritas Relawan Kemanusiaan (SRK) di masa-masa darurat bencana. Tim tersebut ditugaskan datang pertama kali untuk menggali data seakurat mungkin agar semua kegiatan SRK bisa matang dan terukur.

 

Tentu itu bukan hal yang mudah, sebab kesulitan demi kesulitan kadang timbul saat di lokasi bencana. Kesulitan itu biasanya disebabkan sebagai relawan kita luput mengidentifikasi siapa penyintas dan “lupa” di mana letak geografis bencana.

 

Berbeda letak geografis tentu berbeda pula dinamika sosial-budaya bencana yang dihadapi. Namun ini bukanlah halangan bagi SRK untuk tetap memberi kesempatan pada para relawan baru untuk terlibat di tim assesment.

 

Untuk meminimalisir kesulitan seperti di muka, SRK mengadakan pelatihan pada 3-4 Mei 2024 dengan tagline mengintregasikan metode psikologi komunikasi dan jurnalisme investigasi dalam proses assesment.

 

Tujuan utamanya adalah berbagi ilmu dan pengalaman dengan muda-mudi dari berbagai komunitas jaringan. Harapannya kelak mereka dapat mempunyai metode pendekatan yang pas ketika berhadapan dengan siapapun dan dari manapun penyintas berada.

 

***

 

Sesi psikologi komunikasi membuka mata saya. Saya tertegun dengan materi yang di bawakan oleh Pak Edwi, Dosen Universitas Widya Mandala, Surabaya. Alih-alih mempertanyakan, beliau menyiratkan agar peserta merefleksikan kembali perihal tata nilai peserta selama ini. Tata nilai tersebut terkait dengan nilai sosial dan budaya apa yang menubuh dalam diri peserta.


Selama ini sebagai relawan saya luput untuk mengidentifikasi tata nilai dalam diri saya sendiri sebelum bertemu dengan penyintas. Sebagai relawan saya beruntung diingatkan kembali oleh Pak Edwi tentang tata nilai apa yang mengiringi perjalanan hidup saya.

 

Kadangkala ada masanya pengalaman malah membuat kita angkuh dengan mengabaikan hal-hal kasat mata seperti tata nilai tersebut. Apa yang saya lakukan sebagai relawan murni pengalaman tanpa laku refleksi tentang tata nilai.

 

Walaupun pernah menjadi relawan, saya rasa tata nilai yang menubuh pada diri saya harus tetap menjadi lonceng pengingat jika di kemudian hari saya bertemu dengan penyintas lagi. Ini berguna ketika ingin berkomunikasi secara lebih efektif dan empatik dengan penyintas.

 

***

 

Setelah puas memahami tata nilai yang menubuh dalam diri, relawan juga wajib memahami tata nilai yang menubuh dalam diri penyintas. Setidaknya pada aspek sosial dan budaya mereka untuk menyelaraskan tata nilai.

 

Seperti tertulis di muka, beda letak geografis beda pula tata nilai yang menubuh. Misalkan, saya yang tumbuh di kota Surabaya tentu berbeda pada aspek sosial-budaya dengan seorang penyintas yang hidup di kota Solo.

 

Contoh lainnya. Saat pertama kali bebicara panjang lebar dengan istri yang berasal dari kota Blitar, nada suara dan ekspresi saya disangkakan sedang naik pitam. Padahal begitulah karaktertistik saya dan orang pada umumnya yang hidup di kota Surabaya.

 

Supaya terjalin suatu komunikasi yang efektif dan empatik, oleh sebab itu dibutuhkan semacam pembatasan pada tata nilai tertentu yang menubuh pada diri. Tata nilai yang perlu dibatasi mungkin seperti aspek pendidikan, kebudayaan, adat istiadat atau kebiasaan—bahkan simbol keagamaan.

 

Seorang relawan yang memiliki pengalaman seabrek belum tentu akan mudah berkomunikasi dengan penyintas jika relawan tersebut tidak membatasi tata nilai yang menubuh pada dirinya. Jika tidak, apa yang terjadi akan sebaliknya: benturan dengan tata nilai yang dimiliki penyintas.

 

Membatasi tata nilai bukan berarti membatasi segala potensi yang dimiliki, namun hanya memberi batas-batas pada beberapa tata nilai yang tidak cocok ketika berkomunikasi dengan penyintas. Misalkan aspek pemilihan bahasa, volume bicara, gaya berpakaian, tingkah laku dan kebiasaan-kebiasaan lain.

 


Seseorang yang berkemauan menjadi relawan pada mulanya memang harus siap membatasi tata nilai tertentu dalam dirinya untuk kemudian menghasilkan nilai-nilai kemanusiaan yang tak terhingga pengejawantahannya.

 

Oleh : Darius Tri Sutrisno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar