Sore
itu selesai aku mengantar buletin bulanan tempatku bekerja, sejenak aku singgah
di sebuah warung kopi kecil di Jl. Imam Bonjol Surabaya untuk sekedar melepas
lelah. Sambil menikmati segelas es teh dan beberapa batang rokok aku berusaha
membunuh lelah di tubuh ini dengan menikmati acara di televisi yang memang
disediakan pemilik warung. Sesekali aku coba berinteraksi dengan pengunjung
lain, meskipun hanya menanyakan hal yang tidak begitu penting seperti pekerjaan
dan tempat tinggal. Meskipun tak saling mengenal, bagi saya setidaknya tidak
ada keheningan diantara aku dan pengunjung lain di sekitarku. Warung ini ukuranya
bisa dibilang tidak terlalu besar dan juga tidak ada fasilitas seperti Wifi gratis di sini, tetapi setidaknya
cukup bagi para pengunjung untuk duduk santai sambil memandang lalu lalang
kendaraan yang melintas di seberang warung ataupun sekedar berbincang–bincang
dengan orang di samping kanan kirinya. Ada anak–anak muda yang berbincang
mengenai olahraga sepak bola, ada bapak–bapak yang beradu opini mengenai acara
yang tayang di televisi, dan masih banyak lagi obrolan–obrolan yang dibahas
oleh orang–orang yang berkunjung di warung kopi tersebut.
Mengingat
peristiwa tersebut aku jadi teringat warung kopi dekat rumah kos yang aku
tinggali dulu. Letaknya hanya berjarak 20 meter dari tempat tinggalku. Untuk
masalah fasilitas, di warung kopi ini lebih memanjakan pengunjung dibandingkan warung kopi yang aku ceritakan di awal tulisan
ini. Mulai dari ukuran televisi yang lebih besar hingga adanya Wifi gratis untuk para pengunjung yang
ingin mengakses internet. Nah, kebetulan malam itu aku ingin membeli segelas
kopi di warung tersebut sebagai obat penawar ngantuk agar mataku bisa tahan
sampai pagi hari untuk melihat pertandingan sepak bola. Sembari mencari tempat
duduk di warung tersebut, aku sekalian memesan segelas kopi ke penjaga warung.
Karena cukup banyaknya pengunjung, aku harus menunggu kurang lebih 5 menit agar
kopi yang aku pesan selesai dihidangkan. Kepulan asap dari gelas kopi yang
diberikan penjaga warung kepadaku sungguh menggambarkan betapa panasnya kopi
tersebut. Sambil menunggu kopi yang aku pesan agak dingin untuk diminum, aku
mengambil koran olahraga disebelah tanganku untuk kubaca. Sesekali aku menengok
kanan kiri untuk melihat aktivitas yang dilakukan pengunjung yang datang.
Betapa campur aduknya perasaanku ketika melihat pengunjung–pengunjung lain di
warung itu yang ternyata sedang sibuk menundukkan kepalanya menunjukan raut
wajah serius sembari memegang telepon genggamnya masing–masing. Jika aku lihat
mereka ada yang main game online,
membuka akun social media, ataupun
melihat video–video yang ada di Youtube.
Tidak ada interaksi sosial yang terjadi diantara pengunjung warung. Semuanya
sibuk dengan HP dan dirinya . Bahkan orang yang tepat duduk disebelahku pun
ketika aku bilang permisi untuk duduk di sebelahnya tidak menanggapi sama
sekali sapaanku karena dia sedang asyik memainkan game yang ada telepon
genggamnya. Hanya penjaga warung saja yang bersedia berbicara dengan orang
lain, karena memang menjadi tugasnya untuk melayani pembeli. Melihat kondisi
seperti itu aku merasa seperti orang dari planet lain ketika berada di
tengah–tengah mereka. Segera saja aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan
kuhabiskan segelas kopi yang ada di depanku sekalian aku bayarkan ongkos kopi
ke penjaga warung.
Sampai
suatu ketika disela–sela waktu senggangku baik di rumah ataupun di tempat
kerjaku, aku merasa ada yang mengusik hati dan pikiranku mengenai kedua kondisi
warung kopi yang aku bagikan pada tulisan ini. Sebenarnya mengapa orang–orang
yang ada di warung kopi yang aku sebutkan kedua begitu sibuk dengan telepon
genggamnya sendiri tanpa menghiraukan manusia yang ada di sekitarnya? Sedangkan
warung kopi yang aku sebut di paragraf pertama, mengapa orang–orangnya dapat
begitu santainya menikmati suasana warung sambil berinteraksi dengan
orang–orang di sekitarnya? Setelah aku coba mencari–cari penyebabnya, akhirnya
aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah Wifi
yang menyebabkan perbedaan kondisi dan suasana yang ada pada kedua warung
itu? Hingga membuat orang tidak lagi mempedulikan relasi dan interaksi antar
sesama manusia yang berada di sekitarnya. Entahlah. Setidaknya dari kedua
peristiwa yang aku alami ini sungguh memberikan sebuah pelajaran hidup yang
sangat berharga.
Dan
semoga jangan hanya gara–gara Wifi sebuah
interaksi dan relasi dengan sesama kita manusia terabaikan, sehingga sesama
kita tidak dapat merasakan bahwa kehadirannya dianggap ada dan membuat mereka
merasa tidak diperlakukan sebagaimana mestinya manusia diperlakukan.
Oleh : Agus Eko Kristanto
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi Juni No. 72 tahun 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar