Meski berhimpitan jadwal, namun aku masih menyanggupi untuk misa
menggantikan Rm. Puji di Paroki Marinus Yohanes Kenjeran pada hari Minggu yang
lalu. Setelah misa saya akan segera meluncur pulang ke Paroki Kristus Raja
untuk memimpin perkawinan. Beberapa anak yang meminta tanda tangan di buku
tugasnya aku layani dengan cepat. Tetapi ada seorang anak lelaki remaja SMP
yang tiba-tiba meminta wawancara. Saya katakan untuk mencari romo lain, karena
saya buru-buru. Tetapi anak ini bersikeras harus wawancara. Ibunya pun turut
meyakinkan agar saya berbelas kasihan pada anaknya dan memberi waktu. Saya
katakan untuk lakukan wawancara di paroki Kristus Raja setelah upacara
perkawinan. Saya tegaskan bahwa saya tak ada waktu lagi.
Karena anak ini mendesak terus aku sanggupi dengan super cepat.
Anak ini berjanji untuk menuliskan jawaban dengan cepat. Dan benar, setiap
pertanyaan anak ini saya sambut langsung dengan jawaban. Anak inipun
terengah-engah untuk mencatat jawaban saya. Tetapi dari cara menuliskan
jawaban, saya menduga kalau anak ini cerdas, dan menangkap dengan jelas maksud
saya. Sudah saya duga, semua pertanyaannya akan berhubungan dengan riwayat
hidup, panggilan, dan karya-karya imam.
Saya senang sudah mau melewati limabelasan pertanyaan dan sampai
pertanyaan terakhir. Pertanyaan terakhirnya adalah, “Ceritakan suka-duka Romo
sebagai imam?”
Dengan cepat saya menjawab pengalaman menggembirakan saya, bisa
berjumpa dan melayani sekian banyak orang. Tetapi saya tak bisa menjawab
dukanya. Saya bertingkah seolah-olah sudah menyelesaikan semua jawaban dan
langsung lari keluar halaman. Tetapi anak ini lagi-lagi memohon-mohon untuk
menjawab pertanyaan tentang duka saya sebagai imam.
Saya katakan lagi, “Dik saya tidak tahu. Kesulitan memang ada,
tetapi saya tak pernah bersedih atau berduka karena kesulitan itu.”
Anak ini tetap memohon, “Tolong Romo, Tolong lengkapi?!!”
Saya berhenti dan saya katakan dengan perasaan tak berdaya, “Dik,
sungguh aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.”
Sambil perjalanan ngebut dengan sepeda motor, bahkan sepanjang
hari itu saya lalu dihantui pengalaman tadi. Mengapa saya tak bisa menjawab
duka seorang imam? Apakah memang tidak ada sama sekali, atau saya berpura-pura,
ataukah selama ini saya menyembunyikan kenyataan. Pertanyaan itu akhirnya
menggelisahkanku. Aku ingat persis ketika anak itu memohon jawaban dan saya
memohon pengertiannya. Ya, selama ini kesulitan juga tak sepi dari hidup saya.
Ada kegagalan, kesalahpahaman, kurang dukungan, kehabisan sarana, ancaman, dan
sebagainya. Akan tetapi, bagi saya semua itu tak pernah berubah menjadi duka.
Saya bertanya-tanya, mengapa demikian. Ada kemungkinan karena saya
terbiasa hidup sulit di masa kecil. Ada kemungkinan karena karya-karya saya di
yayasan sosial dan di paroki selama ini banyak mempertemukan saya dengan
orang-orang berkesulitan , sehingga saya tak pernah merasa lebih sulit dari
hidup mereka. Atau barangkali karena saya terus-menerus harus memberi kesaksian
tentang pengharapan dalam kesulitan, sehingga saya tak mampu melihat kesulitan
itu sebagai sumber duka yang mendalam. Rasanya kebuntuan ini aneh, tetapi
menjadi rahmat tersendiri bagi saya.
Saya tak menanyakan nama anak itu, sekolah di mana, kelas berapa,
dan lain lagi. Tetapi pertanyaannya membuat saya mengingat perjumpaan
dengannya.
Oleh : Rm. Ignatius Suparno CM
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi No.79, Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar