Sabtu
01 des 2012 jam 12.30. Siang itu cuaca cukup panas. Aku dan si penjual kopi
terlibat pembicaraan santai dengan seseorang yang bekerja di sebuah restoran
cepat saji bergaya Amerika di sebuah warung kopi di pojok pertigaan jalan, di
dekat pintu masuk restoran cepat saji tempat orang itu bekerja. Menggunakan seragam
kaos warna merah dan bertopi merah berlambang logo restoran, sepertinya orang
itu juga sedang menikmati jam istirahatnya. Sambil menikmati segelas kopi susu
aku ngobrol dengan orang tersebut dengan santai dan sesekali si penjual kopi
ikut menimpali pembicaraan kami dan tanpa berfikir untuk berkenalan satu sama
lain, tapi aku sempat melirik nama yang tertulis di dada sebelah kanan orang
tersebut.
Entah
dari mana mulainya pembicaraan kami, dia menceritakan bagaimana dia bekerja di
restoran cepat saji tersebut. Dia menuturkan bahwa dia adalah karyawan outsourcing bagian delivery service. Dia juga menuturkan kalo di restoran tersebut ada
dua perusahaan outsourcing. Dia juga
megeluhkan soal jam kerja dan upah yang diterimanya serta bagaimana restoran
dan perusahaan tersebut memperlakukan dia dan teman-teman kerjanya.
Jam
kerja
Orang
tersebut bekerja di restoran selama 8 jam sehari mengikuti aturan Amerika
dimana jam kerja adalah jam kerja dan istirahat adalah jam istirahat. Sayang gaji
yang dia terima adalah standar lokal walau jam kerjanya adalah 8 jam sehari
tapi jam masuknya tergantung rollingan.
Seperti yang dia tuturkan bahwa dia baru pulang jam 2 malam tapi jam 9 pagi dia
sudah harus masuk lagi. Ketika bekerja, mereka tidak boleh istirahat saat jam
kerja. Kalau ketahuan duduk sebentar maka akan ditegur oleh pihak
manajemen. Bahkan seperti orang ini yang bekerja di bagian delivery service harus mengirimkan pesanan dengan radius 30 menit
pulang pergi. Bila melebihi maka dia akan ditegur oleh atasan. Bila dia
selesai menjalankan tugas dan tidak ada tugas pengiriman lagi maka dia
harus melakukan pekerjaan lainnya seperti menyapu atau membersihkan toilet.
Menurut dia sudah banyak teman-temannya yang dipecat oleh jasa outsourcing karena tidak disukai oleh pihak
restoran cepat saji tersebut.
Penghasilan.
Gaji
atau penghasilan yang diterima oleh orang tersebut hanya sebesar 70%, dan 30%
dipotong oleh perusahaan outsourcing yang mempekerjakan orang ini. Pihak
restoran sendiri telah membayar sesuai upah UMR, tutur orang tersebut. Seperti
orang ini yang bertugas sebagai delivery
service tidak mendapat jatah uang bensin atau fasilitas transportasi lainnya.
Dia mengatakan akan mendapat insentif bila pengirimannya melebihi 7 kali, maka
yang ke 8 mendapat tambahan sebesar Rp 3500. Rasanya tidak cukup untuk membeli
1 liter bensin. Belum lagi sepeda motor yang mereka pakai adalah milik dia
sendiri.
Perusahaan
jasa outsourcing dapat bertindak
sewenang-wenang kepada karyawannya karena mereka adalah karyawan kontrak
yang dapat diputus hubungan kerja secara sepihak tanpa memberikan kompensasi
apa-apa dan mereka akan selalu mencari tenaga kerja yang baru lulus sekolah
atau mereka yang belum pernah bekerja. Bagi para pencari kerja apalagi mereka
yang baru lulus sekolah adalah hal yang sangat menyenangkan bila mereka bisa
mendapatkan gaji berapun yang mereka terima walau sebenarnya yang mereka terima
jauh dari apa yang seharusnya mereka terima. Oleh sebab itu perusahaan outsourcing merasa tidak pernah
kekurangan tenaga kerja karena diluar sudah banyak yang mengantri untuk mencari
kerja.
Perbincangan
kami memang tidak lama dan dari perbincangan itu aku disadarkan bahwa
jaman sekarang ini betapa manusia tidak dihargai martabatnya. Mereka hanya
diperas tenaganya seperti mesin industri yang bisa berkerja tanpa henti dan
ketika mesin itu mengalami kerusakan maka dengan enaknya mesin tersebut dibuang
dan diganti dengan mesin yang baru. Tenaga mereka dihargai sangat murah. Martabat
mereka hanya dinilai dengan uang. Bila teman-teman lihat cara mereka melayani
pelanggan, layaknya seperti sebuah mesin saja. Ketika anda memesan makanan di
restoran tersebut maka kasir akan berteriak kepada temannya agar bisa dengan
cepat menyajikan makanan yang dipesan dalam waktu hitungan menit, begitu
seterusnya. Sepintas kita akan kagum betapa cepat cara kerja mereka melayani
pelanggan.
Selama
ini mungkin kita hanya disuguhi dengan kenyamanan restoran cepat saji tersebut,
seperti pelayanan yang cepat, tempat yang bersih, pelayanan yang ramah, rasa
khas Amerika yang kadang membuat kita terbuai. Tapi mungkin kita tidak pernah
tau bahwa pekerja-pekerja tersebut bekerja dibawah tekanan layaknya budak yang
akan mendapat cambukan bila mereka melakukan kesalahan atau bahkan dipecat oleh
perusahaan outsourcing bila mereka
tidak disukai oleh pemilik restoran. Inilah perdagangan manusia di jaman modern
dengan memanfaatkan keadaan sulitnya mencari lapangan kerja. Mungkin ini hanya
sekilas yang kita dengar atau kita lihat tapi masih banyak lagi keadaan yang
lebih memprihatinkan seperti buruh migrant.
Oleh : Andri Prast
dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi Januari No. 31 thn 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar