Pada suatu hari perjalanan cutiku di daerah Bangka memasuki sebuah
pantai yang cukup sepi, namanya Pantai Tikus. Tak ada
orang lain selain seorang bapak berperawakan kecil sibuk membuat lubang,
mengalasinya dengan terpal, mengisinya dengan pasir pada satu sisinya, dan air
laut pada sisi lain yang lebih rendah. Sekilas terlihat seperti seorang anak kecil
yang bermain sendirian membangun benteng dan kolam dengan pasir laut. Namun
semakin jelas kemudian bahwa dia sedang
mencari timah dengan alat yang super sederhana. Nama bapak itu Pak Tiap.
Kupikir dia penduduk asli Bangka, ternyata dia seorang Sunda dari Leuwiliang,
Bogor.
Dengan piring plastik Pak Tiap ini menyiram tumpukan
pasir di atas terpalnya dan mengalirkan ke sisi lain yang lebih rendah. Tangan kirinya sibuk mengaduk-aduk pasir dan
menahan aliran air bila dirasa terlalu deras.
Orang Bangka menyebut aktifitas ini nglimbang.
Setelah sekitar lima menit pasir berwarna putih itu dihanyutkan nampaklah
endapan yang warnanya semakin gelap. Lima menit kemudian mulai nampak bahwa
endapan itu adalah timah berwarna hitam. Lima menit kemudian semakin nampaklah
bagi dia timah kelas satu dan kelas dua.
Timah kelas satu bisa berharga sampai sembilan puluh ribu per kilo dan
yang kelas dua itu bisa berharga serendah empat puluh ribu. Sekali nglimbang bapak ini bisa menghasilkan
satu hingga dua kilogram, dan satu hari dia akan nglimbang dua kali. Artinya dia akan menghasilkan sekitar dua
hingga empat kilogram sehari. Saya bertanya, “Cukupkah hasilnya untuk makan
bersama keluarga?” Dia menjawab cukup, tetapi makan sederhana.
Saya bertanya, apakah di setiap pantai orang bisa
nglimbang timah seperti itu. Pak Tiap menjawab, “Tidak, lihatlah bagal-bagal
itu. Itu bagal pencari timah, timah di pantai ini sebenarnya sisa-sisa dari
proses aduk dan sedot mesin-mesin tempel di bagal itu.” Benar, sekitar 100
meter dari pantai nampaklah 6 bagal-bagal penyedot timah tak berawak. Dengan
perasaan ingin tahu saya bertanya, “Mengapa bagal-bagal itu sepi tanpa awak” Pak
Tiap menerangkan bahwa bagal itu ditinggalkan pemiliknya karena malam
sebelumnya ada operasi. Pak Tiap menambahkan kisah lucu, “Bapak tadi apa gak
lihat dua pemuda yang berlarian? Rupanya mereka takut, karena bapak membawa
kamera, dikira polisi timah” Dengan
paparan Pak Tiap dan kisah lucunya itu barulah saya tahu bahwa itu adalah
bagal-bagal penyedotan timah ilegal. Menguatlah dalam benak saya pembedaan
antara penyedot legal, penyedot ilegal, dan pengais timah atau penglimbang kecil
semacam Pak Tiap.
Rupanya legal berarti direstui, menjalani perintah,
seiring dengan kemauan penguasa pusat ataupun daerah. Mereka yang disebut
penyedot legal tambang timah Bangka telah mengeruk timah sepanjang sejarah
kolonial, bahkan sejak jaman
kesultanan, mulai tahun 1709, ketika Batin Angor memerintahkan untuk menggali
timah Bangka. Atau mulai tahun 1733 ketika
Sultan Badaruddin I, Sultan Palembang, mengawali penyedotan besar besaran,
bahkan dengan mendatangkan beribu-ribu buruh timah dari China. Sebaliknya,
ilegal berarti
mereka yang mengeruk timah tanpa restu, tak seiring dengan kemauan penguasa
pada saat itu.
Lalu bagaimana kita mendeskripsikan posisi Pak Tiap dan
orang-orang sejenisnya? Mereka adalah pengais yang sesekali sekedar dimaklumi,
karena mereka hanya mendapatkan sisa-sisa dalam jumlah yang sangat sedikit.
Sekarang timah semakin melangka. Orang orang seperti Pak Tiap sebenarnya
mendapatkan dua atau tiga kilo timah hanya dengan mengandalkan timah yang
hanyut dari bagal-bagal ilegal tadi. Lalu siapakah penikmat timah bangka saat
ini? Tidak begitu jelas. Setelah pulau eksotik ini dipenuhi bekas cabikan mesin-mesin
timah, lalu kemanakah arah ekonomi Bangka? Rupanya tak banyak yang bisa
menjawab. Bahkan penjaga museum timah yang akrab dengan sejarah timah bangka
menjawab dengan getir, “Entahlah, saya sih melihat setelah ini kami akan masuk
masa gelap. Kami sampai saat ini masih rukun, tapi tak lama lagi, ketika timah
habis, mungkin masyarakat Bangka akan mulai saling merampok”
Melihat pemandangan ini saya teringat Masterplan
Percepatan dan Peluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dikeluarkan
Kementrian Koordinaror Bidang perekonomian yang akan menguras pulau-pulau besar
Indonesia lewat aktivitas perkebunan dan pertambangan.
Saya membayangkan bagaimana Bangsa Indonesia semakin dibelah
tajam menjadi tiga kelompok ini. Kelompok pertama adalah mereka yang dianggap
legal, mengeruk kekayaan alam dengan restu pemerintah, entah pemerintah daerah
atau pemerintah pusat. Kelompok ini akan memiliki kekuasaan berlebih untuk
membalik tanah-tanah subur dalam memburu harta karun bernama emas, timah, biji
besi, batu bara, kelapa sawit, dan lain lain. Mereka tak perlu merasa bersalah
apapun terhadap luka bumi Indonesia karena telah mengantongi sertifikat legal.
Bukan hal yang rahasia, bahkan jumlah banyak pemilik usaha legal itu sebenarnya
orang-orang asing, bukan bagian langsung dari bangsa ini.
Akan semakin lahir pula, kelompok kedua yang merasa
bisa melakukan aktifitas pertambangan dengan biaya kecil menengah, tetapi tak
memiliki modal untuk mengurus semuanya ke kantor daerah atau pusat. Lebih
tepatnya, mereka adalah kelompok yang tak mampu atau tak mau “membeli” surat
ijin. Mereka akan melakukan aktifitas dengan sembunyi-sembunyi. Kelompok inilah
yang akan terus menyandang predikat ilegal. Mereka akan dihantui ketakutan dan akan
berhamburan ketika polisi tambang atau polisi apapun namanya melakukan razia.
Kelompok ketiga adalah kelompok orang seperti Pak Tiap,
yang hanya memiliki modal karung terpal, ember dan piring plastik. Mereka
adalah kelompok pengais yang sesekali dibiarkan karena dianggap pemilik bumi,
kadang ikut dikejar karena digolongkan sebagai penambang ilegal. Dengan mudah
kita bisa melihat bahwa kalangan ini adalah kalangan dengan jumlah terbesar atau
mayoritas dalam piramida pelaku dan kepemilikan harta kekayaan alam Indonesia. Pak
Tiap hanyalah wakil atau representasi dari sebagian besar masyarakat Indonesia.
Di sinilah kita bisa memotret bagaimana MP3EI
menggiring kita menjadi bangsa pengais, bangsa pencari sisa-sisa. Janji-janji
MP3EI begitu indah mensejahterakat seluruh bangsa, namun ternyata potensial
menyimpan akibat pahit, yakni terpinggirkannya martabat bangsa ini dari pemilik
bumi Indonesia, menjadi pengais di bekas tanahnya sendiri. Kalau kita tidak
berdiri tegak dengan sikap kritis, ratusan juta Pak Tiap ini akan tergiring
menjadi korban pengelolaan alam Indonesia.
(Rm.
Ignatius Suparno CM)
dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi Januari No. 31 thn 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar