Aku biasa
dipanggil Bunda oleh teman-teman kecilku di Sanggar Merah Merdeka ( SMM ). Pada
akhir tahun 2011 tidak terasa aku sudah hampir setengah tahun bergaul dengan
kerabat di sanggar. Berbagai kesan mendalam bersehati dengan mereka. Aku ingin
menceritakan tentang awal bergabung dan akrab di SMM, banyak kesan yang
menyenangkan, dalam suka dan duka.
Bermula dari
tawaran anakku Thania, yang sudah lebih dahulu mengenal sanggar. Aku ditanya,
apa tidak ingin ngajari art and craft
anak-anak di sanggar. Katanya lagi, anak-anaknya lebih banyak daripada yang di
Pandegiling. Waktu itu aku memang sudah ikut di sanggar kelompok Legio Maria,
Gereja Kristus Raja, tetapi memang tidak terlalu aktif. Dari tawaran anakku
itu, aku sangat senang dan antusias ingin segera tahu Sanggar Merah Merdeka.
Kebetulan sekali waktu di rumah ada rapat dari teman-teman panitia TKMV, dan
bertemulah aku dengan Romo Wawan yang bertanggung-jawab di SMM. Kemudian saya menyampaikan
ingin bergabung dengan SMM.
Kira-kira
setelah satu bulan kemudian saya dijemput oleh Mas Alfred untuk melihat dahulu
kondisi sanggar. Jam 7 malam saya sampai di SMM, aku kaget, takjub, bingung,
dan ragu-ragu. Aku merasa di dunia antabrata. Suasana ramai berisik, kertas koran
berantakan dimana-mana, anak-anak berlari seenaknya seperti tanpa bisa
dikontrol. Aku Cuma tolah-toleh tidak
tahu apa yang harus kulakukan. Aku cukup ketakutan juga. Kemudian aku
berkenalan dengan Mas Jolodong dengan rambutnya yang gondrong, serta Mas Heru
yang cuek. Alamak, aku tambah grogi. Aku seperti masuk kawah Condrodiko.
Apalagi Mas Alfred yang menjemputku pergi entah kemana. Romo Wawan yang aku
harapkan dapat memberi informasi juga tidak ada. Aku hanya bisa tercekat, harus
apa, dan darimana aku harus memulainya. Sungguh satu tantangan yang harus
kulalui, soalnya dari pengalamanku
berkesenian dan pengalaman mengajar formal semuanya sudah tertata dan
terarah. Tapi di Sanggar Merah Merdeka ini aku merasa tertantang dengan sistem
yang berbeda pada umumnya.
Aku mulai berpikir
keras sambil geleng-geleng kepala, bukan sebagai tanda antipati tetapi merasa
simpati. Aku mulai berpikir untuk mengeluarkan jurus-jurusku sebagai seorang entertaint. Aku harus dapat menaklukkan
dunia antabrata ini. Dalam hatiku, aku berdoa pada Tuhan, ini tantangan hebat,
tolong bimbing dan beri rahmat panggilan jiwa besar agar dapat bersehati dengan
anak-anak dan pendamping di SMM. Setelah berdoa, ya ampun, aku ditabrak oleh anak
laki-laki kecil sampai sempoyongan. Dia lari tanpa kendali diantara kertas-kertas
koran itu. Tidak ada kata maaf terucap. Dia tetap bermain dengan temannya
dengan cueknya. Aku merasa sedikit jengkel padanya.
Tetapi pada
akhirnya, aku disadarkan bahwa anak laki-laki tersebut adalah jelmaan malaikat
dari Tuhan. Karena dengan cara itu aku bisa komunikasi dengan mereka, bersehati
dengan mereka dan sebaliknya. Anak itu akhirnya ku ketahui bernama Ardi. Minta
ampun bandelnya. Tapi setelah aku mengenal dia lebih dekat, dia memiliki jiwa
yang murni, polos dan sopan. Ketika aku ajak bicara pertama kali, dia berbicara
bahasa jawa halus denganku. Alamak! Saya terharu dan semakin penasaran dengan
Ardi dan anak-anak lain di SMM. Namun begitu aku masih mengalami kebingungan,
disatu sisi aku pasti mampu, tapi disisi lain apa aku bisa?
Dalam
kebingungan, aku kemudian menelpon anakku Thania. Aku menceritakan kondisi di
sanggar yang unik, bagai tambang emas dan mutiara terpendam yang masih perlu
digali dan diproses. Anakku hanya tertawa karena dia sudah kenal jiwaku yang
sentimental. Lebay kata orang-orang
sekarang. Tetapi biarlah, aku jujur apa adanya. Aku masih terus menyimpan
keraguanku antara mampu atau hanya eforia?
Jawaban itu belum ada, tetapi aku semakin kepikiran oleh Ardi. Kemudian saya
mulai mengenal Alan, Yuli, Padma, Hosia, Putri, Aldo, Nia kecil dan banyak lagi
yang lainnya. Dari gerakan dan tingkah polahnya, anak-anak ini malah membawa
inspirasi buat tarian, mereka seperti punya bakat alam yang belum tersalurkan.
Malam hari
setelah pulang, aku tidak dapat tidur. Aku masih mengalami kebimbangan dan
kebingungan. Anak-anak di sanggar terlalu banyak untuk aku atasi. Akhirnya aku
putuskan untuk menelpon Romo Wawan untuk bilang kalau aku tidak sanggup dan
ingin mengundurkan diri saja. Romo Wawan hanya menjawab singkat, menyesuaikan
diri saja dulu bu. Gedubrak!! Saya tambah ragu-ragu untuk memikirkannya, materi
art apa yang harus aku gunakan?
Apakah nasibnya akan sama seperti koran yang berserakan karena aku tidak bisa mengatasi?
Kali ke dua ke
sanggar aku dijemput Mas Heru. Ini jadi kesempatanku untuk berbincang banyak
tentang sanggar. Dari situlah aku memperoleh banyak penjelasan tentang sanggar.
Kebutuhan dan potensi anak-anak sanggar. Dan pada saat itu pula muncul ide
menaklukkan anak-anak dengan tari. Pertentangan batinku dimulai kembali, aku
sudah tidak mau menari lagi kecuali pada acara khusus. Tetapi apakah aku harus
menari lagi untuk anak-anak di sanggar? Ya, kuputuskan untuk kembali menari
lagi. Dan tantangan itu menjadi kenyataan. Pada Hari Anak Nasional tahun 2011 adalah
kegiatan perdanaku di sanggar menampilkan potensi anak-anak dalam menari.
Banyak gerakan yang dari anak-anak sendiri, terutama Ardi, dia punya potensi
bakat alam. Dari menari itulah dampak positif itu datang, aku banyak mengenal
lebih dalam kehidupan anak-anak di sanggar. Aku juga terinspirasi oleh ucapan
Mas Alfred, raih hari ini! Carpe Diem!
Untuk mengatasi keraguanku berkarya di SMM.
Masih banyak
pekerjaan rumah yang harus aku kerjakan, agar banyak pengetahuan dan
menyalurkan bakat minatnya. Hak-hak mereka sebagai anak juga harus terpenuhi,
terutama masalah pendidikan dan kasih sayang yang layak. Aku sangat bersyukur
dan berterimakasih karena dapat diterima di sanggar untuk saling berbagi
pengalaman. Aku sangat berkomitmen untuk anak-anak dan sanggar. Aku ingin
membuat program-program nyata, utamanya untuk kesenian. Aku juga ingin
mengundang teman, tokoh, atau orang-orang yang peduli terhadap Sanggar Merah
Merdeka.
Salam Budaya.
Dra. Th. T.
Swandayani
dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi April No. 34 thn 2013.
dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi April No. 34 thn 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar