Malam itu setelah selesai kuliah, aku berangkat menuju Sanggar
Merah Merdeka (SMM) bersama 8 orang temanku. Dalam perjalanan aku bingung,
ngantuk, capek, lapar, semuanya campur jadi satu. Hari itu merupakan hari
pertama kunjunganku ke SMM. Aku bingung nanti di sanggar mau ngapain, anak-anak
nakal nggak, warga sekitar ramah dengan kehadiran kami nggak ya. Itulah
kepanikan-kepanikan kecil yang selalu kurasakan saat aku berada di tempat baru.
Untungnya, saat aku tiba di sanggar kepanikan-kepanikan tersebut hilang.
Adik-adik dan warga sekitar sangat ramah menyambut kehadiranku. Para adik ada
yang datang menjabat tanganku dan menyebut namanya. Via, Nabil, Vira, dan
lain-lain. Namun ada juga yang ngajak kejar-kejaran, sembunyi di balik mobil,
manjat ke pohon, tapi pada akhirnya tertangkap juga. Aku masih ingat bocah itu
bernama Nathan masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 2, cita-citanya ingin
menjadi polisi.
Itulah awal pertemuanku dengan adik-adik binaan sanggar. Mereka
terlihat selalu ceria, lari sana-sini, nggak ada beban, dan selalu menyambut
kehadiran kami dengan semangat. “halo kak” sapa salah seorang dengan ramah
sambil memajukan tubuhnya minta untuk dipeluk. Ada juga minta duduk dipangku
sambil bermain tepuk bahu.
Pada pertemuan selanjutnya kami mengajak mereka untuk bermain bola
baskom. Dalam setiap tim ada yang menjadi penyerang dan ada yang menjadi
pembawa baskom. Baskom sebagai gawang atau ring. Jadi mereka harus mengoper
bola kepada rekan sekelompoknya kemudian memasukkan kedalam baskom.
Awalnya, permainan berjalan dengan lancar, mereka bermain secara
sportif. Namun di tengah-tengah permainan salah seorang anak protes karena
jumlah anggota kelompok yang tidak adil atau postur badan yang tidak adil.
Karena banyak anak yang protes akhirnya kami segera mengakhiri permainan dengan
mengajak mereka ngobrol. Ada yang curhat “gak adil mbak, tim kono lho ganas”.
Ada yang bilang “lha iku lho curang badane gede” Lalu kami menjelaskan
bahwa dalam permainan bola corong yang dibutuhkan adalah kerjasama bukan gendut
atau kurus tapi pandai-pandainya mereka mengatur strategi. Adik-adik akhirnya manggut-manggut
dan aku berharap mereka paham apa yang disampaikan. Permainan ini cukup
melelahkan dan membutuhkan kesabaran ekstra. Adik-adik yang berbicara terus
menerus tanpa henti menguras energiku, namun untungnya mereka cukup bisa
dikendalikan
Mewarnai, bermain paper craft, berkreasi dengan sedotan,
main komedi putar, dan lain-lain adalah serangkaian kegiatan yang sudah
dilakukan selama satu bulan ini. Rasanya sedih saat hari terakhir pertemuan
rutin kami dengan mereka. Pada pertemuan tersebut kami membagikan sebuah buku
tulis, pensil, bolen, dan lain-lain. Hal yang mengejutkan adalah ketika Nabil
menuliskan nama-nama kami dalam buku tersebut. Sambil ndodok di teras
depan balai RW ia menuliskan nama kami satu per satu. “Ini biar Nathan inget
terus sama kakak”
Melalui perjumpaan-perjumpaan tersebut, aku menyadari bahwa
anak-anak bukanlah ciptaan Allah yang kecil dan belum bisa apa-apa. Mereka
adalah anak-anak yang harus dipenuhi kebutuhannya akan adanya rasa dicintai
salah satunya melalui kegiatan bermain. Melalui bermain, anak-anak bisa
belajar, berekspresi, dan berproses. Selain itu anak-anak juga akan merasa
dicintai sehingga kelak nantinya mereka bisa mencintai orang lain.
Permainan-permainan yang sudah kulakukan bersama anak-anak memang sederhana
tapi bisa mengajarkan kerja sama, sikap sportif, dan lain-lain. Semoga
anak-anak masih bisa bermain, ada ruang untuk bermain, dan selalu bermain.
Oleh : Yulia Widyasari
(Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Widya Mandala Surabaya)
dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi No. 54 Desember 2014

Tidak ada komentar:
Posting Komentar