Di awal minggu, di awal Festival
Merah Merdeka, kulihat mereka tampil. Pertama kalinya. Baru muncul setelah
panggilan kedua. Wajah tegang. Senyum kaku dipaksakan. Badan gemetar
berkeringat.
Di panggung, wajah mereka menunduk.
Mata beredar ke mana-mana. Tapi, tak pernah memandang kami yang lagi nonton.
Senyum dipaksakan telah hilang. Kaki nggreweli, seperti bergetar tanpa
dimaui. Kocokan gitar dan tabuhan ketipung tak berwibawa. Sama sekali
tak menampakkan rasa pede. Suara kedengaran fales. Lebih parah, mic
tiba-tiba terjatuh. Puncak dari demam panggung yang tanpa ampun membabat.
Kuusap dada penuh prihatin, di
tengah tepuk tangan dan teriak teman-teman memberi semangat. Jelas. Itu bukan
cuma demam panggung. Walau berbeda audience, mereka biasa ngamen di
perempatan jalan. Tapi, di sini. Di panggung situ. Mereka seakan disorot oleh
semua mata. Disorot berarti dinilai. Dan, nilai yang selama ini mereka terima
adalah nilai negatif dari masyarakat plus rasa kasihan beberapa pengguna jalan.
Tepuk tangan dan jerit setia kawan
dari teman-teman makin menggema. Saat tampilan selesai, beberapa teman berlari
ke panggung. Bawa pensil berhias. Anggap saja sebagai bunga, kata mereka.
Memang tidak ada bunga sungguhan. Hanya itu yang kita lagi punya. Anak-anak itu
mendapatkan satu-satu. Teman-teman lain makin mantap bertepuk tangan.
Tindakan solider spontan. Tidak
peduli apa yang telah terjadi. Tidak peduli bagaimana mereka tampil. Tidak
peduli apa yang dipikirkan oleh penonton yang lain. Spontan mereka berbagi. Menghadirkan
diri bagi anak-anak yang merasa kalah untuk kesekian kalinya. Bukan soal hasil.
Bukan lagi prestasi. Bukan kehebatan penampilan. Tetapi, mereka tahu pasti.
Anak-anak ini butuh dukungan. Dan, itu yang mereka lakukan.
Spontan aku ingat Veronika. Diabaikannya
kebencian massa kepada si korban salib. Diabaikannya keberingasan orang banyak
menumpahkan kemarahan dan kejijikan. Diabaikannya perilaku garang para serdadu.
Diabaikannya pula bagaimana pandangan orang lain terhadapnya setelah itu. Tubuh
berlumur darah dan wajah bonyok sama sekali tidak menjijikan maupun
menggetarkan. Disorongkan kain bersih. Disapunya wajah penuh luka.
Si Vero berkenan pada Tuhan. Bukan
karena siapa si korban salib. Melainkan, karena sebuah respon manusiawi spontan
mengalir dari hati buat manusia lain. Begitu memanusiakan di tengah-tengah
muntahan perilaku tidak manusiawi. Di saat kebencian, kemarahan, kejijikan
ditumpahkan tanpa kontrol. Sebuah sentuhan, dari manusia untuk manusia lain, di
saat kebutuhan untuk dimanusiakan menguat serta mendesak, adalah tindakan
berkenan di hati Tuhan. Gambar wajah si korban salib pada kain lap menjadi
anugerah baginya.
Teman-teman pasti tidak teringat
adegan Veronika saat itu, walau beberapa bernama Veronika. Anak-anak tidak
sedang mengalami perilaku buas tidak manusiawi. Para penonton tidak membenci
maupun mencibir. Kebutuhan untuk diperlakukan sebagai manusia muncul karena
pengalaman-pengalaman sebelumnya. Kebutuhan itu menyengat hati lewat
kepedulian. Menghadirkan respon sangat wajar dan manusiawi.
Teman-teman tidak dianugerahi gambar
si korban salib ataupun wajah anak-anak di kain saputangan mereka. Perilaku
memanusiakan orang lain telah menguatkan kemanusiaan mereka. Mereka adalah
manusia, sang citra Pencipta, yang menghadirkanNya dalam konteks kebutuhan
untuk diperlakukan sebagai manusia. Kebutuhan untuk diperlakukan selayaknya
citraNya.
Rm. Rudy Hermawan CM
dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No.52, Oktober thn 2014

Tidak ada komentar:
Posting Komentar