Ayunan langkahku mulai terasa berat.
Otot-otot kakiku terasa mulai lemas dan kepayahan menopang berat tubuhku. Ingin
rasanya segera sampai di rumah. Mandi untuk menghilangkan gerah dan penat
tubuh, makan indomie goreng untuk mengisi perut yang terasa lapar, dan segera
meletakkan tubuh di pembaringan. Hanya itu yang kuinginkan saat itu. 2 jam
berkeliling-keliling di sebuah mall untuk mencari pakaian kerja yang cocok
sepulang kerja ternyata sudah menguras energiku. Hmmm.. tubuhku mulai
memberikan sinyal bahwa usia ini tak lagi muda rupanya hehehe... Dulu saat
masa-masa kuliah seharian berkeliling dari mall ke mall adalah hal mudah
bagiku, tapi kalau saat ini kulakukan hal itu mungkin aku bisa ngesot karena tak sanggup lagi berjalan
hehehe...
Sebelum meninggalkan mall aku berbelok
ke arah toilet. Maksud hati ingin buang air kecil sebentar lalu segera pulang,
daripada aku menahan rasa tidak nyaman sepanjang perjalanan pulang. Dengan cepat aku masuki
toilet yang sepi, bersih dan selalu berbau harum itu. Seorang wanita pembersih
toilet mempersilahkan aku dengan ramah. Aku hanya melihatnya secara sekilas dan
memberikan senyuman sambil melewatinya dan segera masuk ke bilik toilet
terdekat.
Saat aku keluar dari bilik toilet
kulihat wanita pembersih toilet tadi menelungkupkan kepala dan badan atasnya
diatas meja wastafel. Saat aku berdiri disampingnya untuk mencuci tangan,
wanita itu mengangkat wajahnya dan menanyakan jam berapa padaku. Setelah aku
menjawabnya, aku bertanya apakah dia sedang mengantuk? Dia menjawab kalau dia
sedang pusing, namun dia harus bertahan 3,5 jam lagi sebelum jam kerjanya
berakhir. Dia mengatakan kalau sebenarnya dia berencana tidak masuk kerja
karena merasa tidak enak badan. Lalu tanpa diminta dia bercerita tentang
pekerjaan dan kehidupannya padaku. Aku pun mendengarkan curhatannya. Kebetulan
saat itu toilet sedang sepi jadi kami bisa ngobrol
dengan bebas.
Siti Juariyah, gadis berumur 25 tahun
itu sudah 3 tahun bekerja sebagai pembersih toilet di sebuah mall terbesar dan
terlengkap di Surabaya. Setiap harinya selama 6 hari dalam seminggu dia harus
bekerja selama 8 jam tanpa boleh duduk dalam kondisi sehat maupun tidak sehat.
Paling-paling dia bisa duduk saat jam istirahat yang diatur bergiliran selama 1
jam atau duduk diatas tempat sampah yang ada di dalam toilet, tapi kalau
ketahuan pengawasnya yang mengontrol setiap 1 jam sekali dia akan dimarahi.
Harus menyapa pengunjung toilet dengan ramah apapun kondisinya. Kalau tidak
masuk kerja karena sakit harus disertai dengan surat dokter selain dari
puskesmas. Dengan gaji Rp. 40.000,- per hari tanpa tunjangan lainnya dia
bertahan hidup bersama dengan seorang adiknya yang masih duduk di bangku SMK.
Siti adalah anak kelima dari enam bersaudara. Dia tinggal berdua dengan adik
perempuannya di sebuah kos-kosan di belakang mall tempatnya bekerja, dengan
uang uang sewa Rp. 400.000,- per bulan belum termasuk uang listrik Rp. 20.000,-
dan iuran sampah. Kedua orang tuanya sudah lama meninggal dan keempat kakaknya
hidup terpisah di luar kota dan tidak terlalu peduli dengan Siti dan adiknya.
Meski kembang kempis menjalani hidup
dengan kondisi pekerjaan seperti saat ini, Siti tetap bertahan dalam pekerjaan
yang gajinya jauh dibawah UMR dan terkesan kurang manusiawi itu. Hal ini
dikarenakan dia tidak mempunyai pilihan lain. Hanya lulusan SMP membuatnya
sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Dia mengatakan kalau
pekerjaannya saat ini tidak membutuhkan ijazah. Meski tidak bisa membaca pun
bisa diterima bekerja. Siti juga bercerita bahwa dia harus gali lubang tutup
lubang mencari pinjaman kesana kemari untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Terkadang harus menunggak uang SPP adiknya.
Masih banyak lagi yang Siti ceritakan
pada malam itu yang tidak kutuliskan disini. Jujur saja, sambil mendengarkan
kisah hidup yang didalamnya terselip keluh kesah itu, kurasakan antara hati dan
logikaku tidak berjalan selaras. Dalam lubuk hatiku aku merasakan belas kasihan
kepada Siti dan aku berusaha untuk berempati – mencoba menempatkan diriku dalam
posisinya. Aku berencana untuk memberikan sejumlah uang padanya untuk sedikit
meringankan beban hidupnya. Namun logikaku berusaha mencari tahu apakah
kebenaran atau kebohongan yang ada dibalik ceritanya itu. Dengan sengaja aku
melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk memastikan kesamaan jawaban dengan apa
yang telah dikatakan sebelumnya. Terkadang logikaku mengatakan bahwa apa yang
dia ceritakan malam itu tidak sepenuhnya benar dan mulai muncul kecurigaan
dalam diriku bahwa jangan-jangan Siti hanya mengarang cerita untuk mendapatkan
belas kasihanku.
Dalam pergumulan itu aku berusaha
mendengarkan apa yang dikatakan hatiku. Aku harus memutuskan dengan cepat YA
atau TIDAK untuk memberikan uang pada Siti. Dalam kegalauan sesaat itu yang
terngiang-ngiang adalah ajakan untuk mendengarkan Kristus dalam diri orang
miskin. Terlebih belum genap 2 minggu lalu aku terlibat dalam event Temu Kaum Muda Vinsensian 2014
yang mengambil tema “Mendengarkan Kristus Dalam Diri Orang Miskin”.
Memang ada kekuatiran bahwa aku akan
dibodohi dan tertipu oleh cerita fiktif Siti, namun bagaimana kalau ternyata
gadis itu tidak berbohong? Bukankah itu berarti bahwa aku telah mengabaikan
jeritan dan keluh kesah Kristus sendiri yang aku yakini hadir tersamar dalam
diri sesamaku terutama mereka yang miskin dan menderita yaitu Siti pada saat
itu? Kubayangkan betapa sedih dan kecewanya Kristus jika aku mengabaikannya dan
betapa akan sangat merasa bersalahnya diriku. Akhirnya kuputuskan untuk
memberikan sejumlah uang pada Siti. Dia nampak sangat gembira dan mengucapkan
terima kasih.
Memang tidak mudah bagiku untuk
mendengarkan Kristus dalam diri orang miskin. Terlebih dengan semakin maraknya
tindak kejahatan penipuan di sekeliling kita. Siapa sih yang mau ditipu? Memang
mengecewakan jika niat baik kita disalahgunakan oleh orang-orang yang tak
bertanggung jawab. Tapi kurasa akan lebih mudah dan lebih baik bagiku jika aku
berpikir nothing to lose. Kalau
memang aku bisa untuk membantu Siti, mengapa aku harus tidak melakukannya? Toh
aku tidak akan jatuh miskin seketika apabila aku memberikan uang itu untuknya.
Kemungkinan terburuk seandainya Siti memang menipuku, toh itu urusannya dengan
Tuhannya.
Akhirnya kuakhiri obrolan selama 45
menit didalam toilet itu dengan berpamitan pada Siti. Selain hari sudah semakin
malam, rasa lapar dan lelah semakin terasa. Ucapan terima kasih yang diulangi
lagi oleh Siti mengiringi langkahku yang segera menghilang di balik pintu
toilet.
Memang benar apa yang pernah ditulis
oleh Susi Pudjiastuti - Menteri Kelautan dan Perikanan yang sedang menjadi trending topic akhir-akhir ini - dalam
buku 'Surat untuk Calon Pemimpin' yang digarap Tempo Institute bahwa:
Ada perasaan
"Hangat" (saya merasakan "good feeling" yang luar biasa!)
menyusup ke dalam hati kita, ketika kita mampu berbuat sesuatu untuk orang lain
karena kita bisa & memutuskan untuk melakukannya.
** Surabaya, 7 Nopember 2014 **
Oleh : Lea
Benedikta Luciele
Dimuat dalam
buletin Fides et Actio edisi bulan Nopember No.53 thn 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar