Di bawah terik
matahari siang yang cukup panas,
sebuah adegan drama teatrikal dimainkan
tanpa naskah secara dadakan dan diperankan oleh anak-anak sanggar Alfaz diatas
hamparan lumpur tanggul Lapindo saat peringatan 9 tahun semburan lumpur
Lapindo. Drama
yang singkat tersebut dimainkan dengan sebuah penghayatan yang mendalam untuk
menumpahkan perasaan rindu mereka kepada kampung halaman.
Drama tersebut menceritakan seorang anak dan
dua orang temannya yang rindu akan rumah dan suasana kampung mereka yang hilang
karena luapan lumpur Lapindo. Dalam salah satu adegannya, mereka mencari rumah
mereka yang hilang entah kemana.
Sambil duduk bersimpuh, anak itu mencoba menunjukkan kepada
ke dua temannya bahwa dulu rumahnya di sini. "Sekarang dimana? Siapa yang
telah menghancurkannya? Mengapa sekarang jadi begini? " itulah rentetan
pertanyaan yang muncul dari mulutnya.
Sanggar Alfaz
merupakan kumpulan anak-anak dari warga korban lumpur Lapindo. Mereka terbentuk dari
keprihatinan akan keadaan anak-anak yang kehilangan ruang bermain dan perhatian
dari orang tuanya karena orang tua mereka disibukkan dengan urusan
ganti rugi.
Kadang aku menganggap bahwa mereka seperti tidak
ikhlas menerima keadaan. Namun
akhirnya aku sadar bahwa keadaan tersebut memang tidak mudah untuk diterima
begitu saja. Apalagi terjadinya luapan
lumpur Lapindo yang terjadi 9 tahun yang lalu bukan sekedar sebuah bencana alam
melainkan sebagai akibat dari keserakahan sekelompok orang yang ingin mencari
keuntungan.
Warga korban
luapan lumpur telah diperlakukan tidak adil oleh penguasa. Sebelum
luapan terjadi, warga
tidak pernah tahu bahwa
sebenarnya PT Lapindo tidak memiliki ijin AMDAL. Artinya warga tidak pernah diberi tahu tentang aktivitas tersebut. Warga
Porong pun sebelum terjadinya luapan lumpur Lapindo tidak pernah menikmati
hasil dari pengeboran tambang yang ternyata dilakukan sejak tahun 1998
tersebut.
Sekarang warga
Porong yang harus menanggung akibat dari sebuah rencana bisnis yang gagal. Mereka
bukan hanya kehilangan rumah dan harta benda tetapi mereka seperti tercabut dari akar
kehidupan sosial. Mereka terpecah menjadi beberapa kelompok karena harus pindah
ke tempat
yang aman sehingga banyak diantara mereka jumlahnya berkurang,
bahkan hubungan kekerabatan antar tetangga atau teman menjadi
hilang. Tradisi
sosial mereka menjadi hilang.
Banyak diantara mereka sudah
tidak lagi saling mengunjungi karena terpisah jarak, apalagi untuk berkunjung
ke makam leluhur, orang tua atau sanak saudara yang sekarang ini hilang ditelan
lumpur.
Kondisi tersebut
diperparah dengan konflik antar warga yang terjadi karena penanganan korban
lumpur yang sangat kental dengan unsur politis dan tidak kunjung diselesaikan
oleh penguasa negeri ini.
Mereka kini harus
berjuang menuntut sebuah tanggung jawab dari para penguasa yang telah
menghancurkan mereka. Perjuangan mereka tidak sekedar soal ganti rugi materi
tetapi mereka berjuang melawan ketidakadilan penguasa. Entah sampai kapan
mereka akan terus berjuang mencari keadilan.
Oleh : Andri Prapto
Dimuat dalam
buletin Fides et Actio edisi Juli, No. 61 thn 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar