Selamat datang di blog kami! Selamat menikmati aktivitas yang kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Bila ada pertanyaan seputar aktivitas kami, silakan kirim ke alamat email kami: sekretkasihbangsa@gmail.com. Kunjungi pula situs kami di https://ykbs.or.id - Terima kasih...

Senin, 03 Agustus 2015

Mengabdi Uang



Beberapa waktu lalu aku kebetulan melihat acara “Tolong” di RCTI. Dalam acara itu ditayangkan seorang ibu penjual es di tepi jalan yang kedatangan seorang perempuan sambil menggendong anak kecil. Dia mencari suaminya yang pergi sudah beberapa bulan. Ibu penjual es ini siap menolong perempuan asing yang baru dikenalnya. Dia bahkan bersedia menampungnya, meski dikatakan bahwa rumahnya kecil. Perempuan asing itu lalu dipersilahkan untuk membantunya menjual es. Atas kebaikannya pihak RCTI memberi ibu penjual es itu uang sebagai hadiah kebaikan hatinya. Uang itu disambut dengan penuh suka cita dan haru. Dalam tangisnya ibu itu mengatakan bahwa dia akan gunakan uang itu untuk melunasi uang sekolah anaknya yang nunggak 3 bulan. Tapi diakhir episode itu ditayangkan bahwa ibu itu menyisihkan hadiah yang diterimanya untuk sebuah panti asuhan.


Ibu penjual es ini seperti sebuah oase di tengah padang gurun. Di tengah dunia yang makin egois dan orang sibuk mengejar harta, ternyata masih ada orang miskin yang berani menampung sesamanya yang kekurangan dan membagikan uang yang sangat dibutuhkan untuk orang lain. Aku yakin bahwa ibu ini sangat membutuhkan uang itu, sebab anaknya harus nunggak bayar sekolah. Tentu uang itu dapat digunakan untuk membeli keperluan sekolah anaknya atau menambah modal usahanya atau membeli kebutuhan hidupnya yang lain. Tapi dia mempunyai pertimbangan lain. Dia rela berbagi pada panti asuhan. Tindakan ibu itu bagaikan sebuah cermin besar yang diletakkan di hadapan banyak orang. Setiap hari kita disuguhi berita korupsi yang mencapai angka fantastis dan tidak mampu dibayangkan oleh banyak orang. Para koruptor pasti orang yang jauh lebih kaya dari ibu penjual es, tapi mereka masih merasa kurang sehingga tega mencuri uang milik rakyat.

Kita semua memang membutuhkan uang untuk hidup, tapi uang atau harta bukanlah satu-satunya hal yang dapat membuat hidup lebih berarti. Ibu penjual es itu sangat butuh uang tapi dia tahu bahwa masih ada yang lebih berarti daripada uang yaitu belas kasih. Belas kasih hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang tidak serakah dan egois. Orang yang memiliki kepedulian terhadap sesamanya. Kemilau harta sering membuat orang serakah dan seolah harta itu dapat membuatnya bahagia. Akibatnya orang tega mengkorupsi dana yang seharusnya menjadi hak kaum miskin. "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.” (Luk 12:15) Peringatan Yesus ini menunjukkan bahwa harta bukanlah segalanya. Hidup kita tidak sepenuhnya tergantung dari harta yang kita miliki.

Banyak orang sering merasa kurang. Ketika gajinya masih sejuta per bulan dia merasa kurang. Setelah gajinya naik sampai 5 juta perbulan dia tetap merasa kurang. Rasa kurang ini akan membuat orang tidak mampu melihat penderitaan sesamanya, sebab dia terus melihat kekurangan pada dirinya. Tindakan belas kasih pada sesama dapat terjadi bila orang merasa cukup dan bersyukur atas segala yang diterimanya. Ibu penjual es itu pasti sangat kekurangan uang. Tapi keberaniannya menolong orang pasti didasari bukan dari kekurangan yang dimiliki melainkan rasa syukur atas berkat yang diterima sehingga dia melihat ada orang yang lebih membutuhkan. Dia lebih bersyukur ketika mendapat rejeki mendadak. Rasa syukur ini membuatnya berani berbagi.

Belas kasih dapat terjadi bila kita percaya pada orang. Ibu penjual es itu percaya bahwa perempuan yang datang padanya sungguh membutuhkan pertolongan. Sering kali kita curiga bila melihat orang asing yang datang dan membutuhkan pertolongan. Melihat mereka dalam pikiran kita langsung muncul aneka pikiran negatif. Dia penipu, akan mencuri dan sebagainya. Aneka kecurigaan ini membuat kita enggan mengulurkan tangan. Untuk itu kita perlu membebaskan diri dari aneka stigmata yang ditempelkan oleh masyarakat dalam diri orang miskin. Kita melihatnya sebagai sahabat. Bila kita melihat kaum miskin sebagai sahabat, maka kita akan mudah untuk berbagi dengannya.

Oleh : Rm. Gani Sukarsono CM
Dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi Desember No.42 thn 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar