Aku hidup di
kampung yang tentu saja penghuninya sangat beragam. Aku memang dilahirkan
disitu di kampung yang sekarang terhimpit gedung-gedung tinggi di kota
Surabaya. Saat aku masih kecil, aku bisa bermain benteng-bentengan, bersepeda
dengan teman sebaya, main engkle , badminton, main egrang dengan gembira.
Artinya tidak ada yang menjadi penghalang saat kami bermain. Ada banyak rumah
yang mempunyai halaman luas, terbuka dan mengijinkan kami bermain, ada pula
lapangan yang bisa menjadi tempat kami berlarian. Gang di rumahku dahulu tidak
bisa dilewati mobil. Sepeda motor juga tidak bisa seenaknya masuk gang,
sehingga kami bisa belajar bersepeda dengan tenang dari gang ke gang yang lain.
Itu 40 tahun
yang lalu. Sekarang wajah kampungku sudah jauh berbeda. Jalan dilebarkan, sehingga sepeda motor dan mobil bisa leluasa
keluar masuk. Okeylah itu sebuah kemajuan yang positif. Tapi yang kuherankan,
rumah-rumah yang halamannya dahulu bisa kupakai untuk bermain telah diberi
pagar tinggi-tinggi. Ada sedikit saja tanah akan dibuat pos kamling atau mushola.
Nah jadinya anak-anak kampungku tidak lagi bisa bermain dengan nyaman. Mereka
kehilangan area untuk bermain.
Sekarang musim
film si Madun jagoan sepak bola. Akibatnya anak-anak bermain sepakbola di jalan.
Kebetulan rumahku paling ujung diapit jalan samping kiri dan jalan depan rumah.
Nah bisa dibayangkan yang namanya sepak bola sungguh membuat aku tidak bisa
istirahat. Suara dak duk dak duk dan jeritan anak-anak sangat mengganggu. Kalau
bulan Ramadhan, wah jangan ditanya, jalan sebelah rumahku jadi ajang mercon
mulai pagi sampai malam.
Aku tidak marah,
tapi justru kasihan pada mereka. Celoteh mereka kadang terdengar menggelikan. Disamping
rumahku ada selokan. Mereka kok bisa punya ide melepas mercon di selokan. Bisa
dibayangkan begitu meledak air muncrat dan mereka gembira saat melihat air
selokan menjadi keruh. Jangan ditanya bagaimana akhirnya wajah tembok rumahku,
menjadi warna warni karena muncratan air selokan. Sekali lagi aku tidak marah,
meskipun banyak orang kampung memarahi tingkah mereka. Tapi ya… mereka hari ini
dilarang besok akan melakukan lagi. Kadang mercon dilempar ke lubang angin rumah
dan meledak di dalam rumahku. Ya solusinya sederhana saja, lubang itu kututup
kawat kasa, beres.
Siapa yang salah?
Apa anak-anak polos yang rata-rata baru berumur 5 tahun itu? Orang dewasa hanya
bisa marah pada mereka tanpa memberi solusi. Mereka pasti bertanya, dimana kami
akan bermain? Dimana lapangan sepakbola kami? Mengapa sekarang rumah yang luas halamannya
yang dulu bisa dibuat bermain sekarang dipasang pagar besi tinggi-tinggi?
Mereka anak-anak orang miskin yang rumahnya kecil, begitu masuk rumah langsung
naik tempat tidur, tidak ada ruang gerak lagi. Mereka tidak pernah bersalah. Mereka
tidak bisa protes kenapa harus lahir dengan orang tua miskin. Aku masih
bersyukur mereka tidak berbuat suatu kejahatan. Mereka hanya anak-anak yang
polos. Masyarakat yang membentuk mereka menjadi begitu. Terlalu banyak orang
yang tidak lagi mempunyai hati. Siapa tahu diantara mereka kelak ada yang jadi
jagoan sepakbola atau jadi orang sukses.
Kita tidak pernah tahu perputaran roda kehidupan.
Aku senang
memperhatikan setiap gerak mereka serta dialog mereka, dan kemudian aku
menerawang jauh……. Kalau mereka anak orang mampu, pastilah mereka akan duduk
manis di rumah, karena bisa bermain dengan laptop
atau tablet-nya.
Dimuat
dalam buletin Fides et Actio edisi No. 62, Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar