Teeetttt….Jujes…Jujes…
Cahaya
kereta api menyibak keremangan malam itu. Mereka yang semula duduk-duduk di
pinggiran rel mengambil beberapa langkah menjauhi rel tersebut ketika kereta
api melintas. Berbeda dengan yang sedang berdua-dua’an, ada yang tetap asik
dengan kegiatannya ada pula yang berhenti sejenak melongok kereta yang sedang
lewat.
Malam
itu saya, beberapa teman sanggar dan guru-guru sekolah ternama di Jawa Tengah cangkruk’an
di pinggiran rel kereta Stasiun Wonokromo. Tujuan kami datang kesitu hanya
sekedar cangkruk melihat anak didik mereka yang sedang live in di
warung kopi pinggiran rel tersebut.
Sepeda
motor kami parkir di sebelah pos Tales lalu kami berjalan memasuki gang yang
cukup untuk berjalan 1 orang saja. Pintu rumah-rumah sudah tertutup rapat
karena memang sudah larut. Oh... ada yang masih terbuka dan berdiri bapak-bapak
yang sudah renta.
“Monggo
pak” sapa kami ketika melewatinya.
Jalan
tiba-tiba terhenti, kulihat di depan sudah terdapat tembok beton pembatas
jalan. Pikirku sudah sampai. Ternyata kami sedang antri untuk menyusup melewati
tembok beton. Tembok beton tersebut adalah pembatas antara kawasan rel kereta
api dengan pemukiman warga. Tembok yang paling bawah ternyata tidak dipasang
dan itu dipergunakan warga untuk jalan tembus menuju kawasan rel kereta api.
Jadi kami harus antri menyusup lubang tembok yang hanya setinggi kira-kira
setengah meter itu.
“Iki
teko sanggar” celetuk orang yang tak nampak wajahnya karena gelap saat kami
semua berhasil menyusup.
Mungkin
mereka mengenali beberapa wajah kami. Jalan bergerombol, itu kesalahan kami
sehingga menarik perhatian orang. Di sekitar pinggiran rel itu ada hamparan
rumput atau semacam lapangan yang cukup luas. Ada beberapa warung kopi berjajar
disitu. Di sepanjang tembok beton cahayanya remang-remang nyaris gelap dan
banyak orang berpasang-pasangan. Ada yang bikin saya geleng-geleng, ada semacam
tenda darurat yang didirikan. Yup mirip tenda daruratnya korban pengungsian
banjir. Tapi yang ini terbuat dari sarung bali yang diikat ujung-ujungnya
dengan tali rafia, alasnya kemungkinan dari tikar. Kami berhenti disalah satu
warung. Warung yang kami singgahi jaraknya sekitar 300 meter dari Stasiun
Wonokromo. Wanita-wanita yang menjajakan diri disitu usianya ga semua belia.
Banyak yang sudah ibu-ibu. Sepertinya disitu yang penting montok dan bermodal hotpants
alias celana gemes jadi dech.
Beberapa
kali aku menggunakan jasa kereta api dan melewati stasiun Wonokromo. Tak pernah
terbayang jika ada sudut kelam disitu. Sambil menunggu tempat tujuan tiba, kita
yang diatas kereta api pasti ada yang melamun menyesalkan nasib, membaca,
bercanda terbahak-bahak bahkan ada yang pulas menikmati tidur. Sedangkan di
sudut itu ada yang datang dan pergi sesuka hati, ada yang menanti pelanggan
menggunakan jasanya, ada nenek tua yang menanti pesanan kopi hangat, ada
bapak-bapak yang membersihkan tempat agar layak digunakan, dan ada masih banyak
lagi kegiatan mereka diremangnya cahaya malam. Ibu-ibu jam segitu yang
seharusnya sudah tidur mendampingi anak-anak mereka masih harus bekerja
menjajakan dirinya. Banyak alasan mereka menjajakan diri. Jadi jangan selalu menyudutkan mereka. Biaya pendidikan
tinggi, susu bayi makin tak terbeli, ketrampilan terbatas, lapangan pekerjaan
sempit. Hmmm... akankah aktivitas keremangan sudut kota tersebut
berhenti???
Oleh : Veronika Sari Fuji
Dimuat dalam buletin Fides et
Actio edisi no.68, Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar