Di kecamatan Menukung masih ada sekitar 3 rumah betang, rumah asli
masyarakat Dayak. Aku mengatakan “sekitar” sebab lupa tepatnya dan mungkin
masih ada yang belum keketahui selain ketiga rumah betang itu. Pada mulanya
masyarakat Dayak hidup di rumah betang, dimana satu rumah panjang dihuni
beberapa keluarga. Tergantung pintu, konon dulu di kecamatan sini ada rumah
betang yang panjang, sekitar 60 an meter yang dihuni sekitar 40 keluarga. Rumah
betang sebuah rumah memanjang dengan deretan pintu, seperti ruko jaman ini,
setiap pintu dihuni oleh satu atau lebih keluarga. Pada umumnya satu rumah
betang terdiri dari satu keluarga besar sehingga semua penghuni masih termasuk
keluarga. Tapi saat ini sudah semakin jarang rumah betang, sebab orang lebih
suka mendirikan rumah sendiri. Atau rumah betang terbakar sehingga sulit untuk
membangunnya kembali.
Kehidupan di rumah betang rasa persaudaraan sangat kuat. Jika satu
orang mendapat babi hutan, maka dia akan membagikan daging itu ke semua pintu
atau semua keluarga yang tinggal di rumah betang itu. Memang pemburu akan dapat
lebih banyak tetapi semua orang merasakan daging babi. Dengan hilangnya rumah
betang, maka kalau ada orang mendapat babi hutan dia akan menjual kepada siapa
saja yang berminat membeli. Tidak ada lagi orang yang berbagi daging babi.
Demikian pula beras dan sebagainya. Budaya rumah betang seolah apa saja menjadi
milik bersama.
Maka aku sempat bingung saat pertama kali datang kesini, sebab
orang sini jarang sekali memakai kata ganti tunggal (aku, kamu, dia), semua
dipakai jamak (kami, kita dan mereka). Maka jika anak atau orang mengatakan
“mereka” belum tentu orang banyak. Bisa saja hanya satu orang, sebab “mereka”
menggantikan “dia”. Demikian pula dalam soal tanaman. Durian yang ada di tanah
pastoran pun dapat diambil oleh siapa saja sebab seolah milik bersama. Demikian
pula saat anak-anak berkebun, maka ada saja orang yang memanen hasilnya tanpa
sepengetahuan kami. Hal ini bukan mencuri tetapi karena tanaman di kebun adalah
milik bersama. Inilah sisa-sisa budaya rumah betang yang meletakkan segala
sesuatu adalah milik bersama.
Saat ini banyak orang ketakutan dengan sosialisme bahkan ada
seorang novelis yang mengatakan sosialisme tidak berjuang untuk kemerdekaan.
Padalah jika melihat rumah betang, maka sosialisme sudah ada di negara kita
sejak jaman nenek moyang kita, maka tidak heran jika para bapa bangsa dalam UUD
mengatakan bahwa bumi, air dan segala isinya adalah milik negara untuk
kepentingan bersama. Atau dalam Pancasila yang menjadi dasar negara dikatakan
dalam sila kelima keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Jadi
penekanan ada pada kepentingan bersama.
Secara sederhana sosialisme adalah cara hidup masyarakat yang
lebih meletakkan atau menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan
individu. Memang ada berbagai macam lagi definisi sosialisme dari para ahli,
tetapi aku hanya berbicara sederhananya saja. Aku berpikir pada jaman dulu
sosialisme sangat kuat dalam masyarakat kita. Beberapa tokoh kita memberikan
gambaran mengenai sosialisme, misalnya Sutan Syahrir menyatakan bahwa
sosialisme adalah suatu ajaran dan gerakan untuk mencari keadilan di dalam
kehidupan kemanusiaan. Soekarno menyatakan sosialisme bukan saja merupakan
suatu sistem masyarakat, sosialisme juga suatu tuntutan perjuangan, yakni
kemakmuran bersama.
Maka sangat mengherankan jika saat ini ada orang yang dengan gagah
berani mengatakan bahwa sosialisme tidak berperan dalam perjuangan bangsa
mencapai kemerdekaan. Memang sosialisme bukanlah senjata seperti bambu runcing
atau ormas seperti NU atau partai yang merupakan wadah pergerakan dalam
memperjuangkan kemerdekaan, sebab sosialisme adalah sebuah nilai yang dihidupi
seperti halnya individualisme adalah nilai yang dihidupi masyarakat. Dari nilai
itulah maka manusia menentukan gerak dan pandangan hidupnya.
Menurut pengalamanku pribadi sosialisme banyak dihidupi oleh
masyarakat Indonesia pada jaman dulu. Misalnya di Jawa dulu sangat kuat
semangat gotong royong. Di Papua, NTT, Sumatra dan beberapa daerah yang pernah
saya datangi tidak jauh berbeda dengan masyarakat Dayak, dimana kepentingan
bersama lebih diutamakan dibanding kepentingan pribadi. Masalahnya sejak
kapitalisme berkembang dan merasuki negara kita dan kini neoliberalisme semakin
menguat maka individualisme menggeser sosialisme, meski kita enggan disebut
sebagai penganut kapitalisme dan individualisme, sebab kita masih mimpi hidup
seperti pada jaman nenek moyang kita yang menganut sosialisme. Maka perlu
dipertanyakan jika ada orang berpendapat bahwa sosialisme adalah hantu yang
harus dilawan. Jika demikian mungkin sudah saatnya kita mengubah sila kelima
dari Pancasila (tidak heran jika sila kelima dilecehkan oleh penyanyi dang dhut
sebagai bebek nungging, mungkin dia tidak memahami makna sila itu atau memang
dia sangat anti sosialisme).
Oleh : Rm. Gani Sukarsono CM
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi no.73, Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar