Baru kali
ini aku datang ke upacara pengantin orang Madura. Ya ampun heboh sekali. Sampai
aku mikir, berapa juta biayanya. Meskipun di desa, mereka pesta semalam suntuk
nanggap Orkes Melayu. Wah pokoknya keren
habis... Bagiku ini luar biasa.
Beberapa
hari yang lalu aku menerima SMS yang bunyinya “Buk, kula badhe rabi kalih minggu malih, ibuk teko yo.“ (Bu, saya
mau menikah dua minggu lagi, ibu datang ya). Wow aku terpana, ini luar biasa.
Sodik anakku akan menikah. Lho, yang aku kagum calon istrinya lulusan S1 dan
sekarang mengajar di salah satu sekolah di Madura. Bapaknya Sodik meninggal 2
tahun yang lalu, ibunya stroke dan
sekarang tinggal di Madura.
Aku mengenal
Sodik saat aku masih bekerja. Dia salah satu dari 3 anak asuhku yang kutemukan
saat mengemis dan berjualan koran di lampu merah. Kalau tidak salah saat itu
Sodik kelas 4 SD. Bersama 2 saudaranya mereka cangkruk disitu. Sodik ini sangat unik. Begitu aku mengenalnya, dia
senang mendapatkan ibu angkat, karena bisa meringankan semua biaya sekolahnya.
Kudampingi Sodik dan adik-adiknya. Aku juga berkenalan dengan kedua orang
tuanya. Bapaknya tukang becak. Ketika itu sekolah mereka lancar-lancar saja,
sampai suatu saat bapaknya Sodik datang ke rumah dan minta maaf, karena Sodik yang
saat itu sudah kelas 1 SMP tidak mau sekolah lagi, pengen kerja ngayak di Madura. Aku sangat sedih
mengapa dia tidak punya semangat belajar seperti kedua saudaranya. Tapi ya aku
harus rela, karena itu pilihannya.
Lucunya
setahun kemudian Sodik datang ke rumahku menangis minta maaf. Dia bercerita
ternyata jadi kuli ngayak nggak enak.
Dia ingin sekolah lagi. Bisa dibayangkan
berarti saya harus mendaftarkan lagi ke sekolahnya. Aku mulai dari nol lagi.
Tapi sudahlah, aku tetap semangat mengantar anak-anak ini untuk
hidup lebih baik. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, cinta harus
diwujudkan. Aku tak ingin hanya membeli korannya, memberi baju bekas, atau melempar
koin lima ratus pada adik Sodik yang tadinya pengemis atau sekedar membantu
uang sekolahnya. Aku ingin lebih dari itu! Aku ingin merangkul, memberi cintaku
pada mereka, membebaskan mereka dari kerasnya jadi anak jalanan. Sebuah cinta
yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Mereka harus jadi “orang” Hanya itu
tekadku... Tuhan mewujudkan perjuanganku bertahun-tahun mendampingi mereka sampai
lulus STM.
Kuusap air
mataku, karena senang melihat Sodik sudah jadi “orang.” Meskipun aku tak pernah
melahirkan Sodik tapi aku mencintainya. Aku tidak melihat dia Madura, dia
miskin, dia muslim, dia anak jalanan, tapi aku melihat dia anak yang harus kupeluk,
karena kerasnya kehidupan sebagai anak jalanan. Aku selalu berpesan pada mereka
untuk berkeluarga dan mendidik anak dengan baik, jangan sampai anak-anak mereka
meniru nasib bapaknya. Sodik yang tertua tapi menikah paling akhir dan paling
meriah. Kedua adiknya sudah berkeluarga lebih dahulu. Tidak semua anak miskin
jahat, tidak semua anak jalanan itu jahat. Mungkin kita juga yang membuat
mereka jahat. Mungkin kita yang sering menghakimi mereka. Jika 1 keluarga mau
mengambil 1 anak jalanan, mungkin tidak ada lagi anak jalanan di Surabaya.
Penulis: Wike Purnomo
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi No.77, Nopember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar