Hampir dua minggu lamanya aku tidak datang ke sanggar. Aku memilih
untuk menarik diri sejenak dari keramaian dan menyepi di kamar kos. Dalam
kesendirianku aku berharap dapat menenangkan diri dan berpikir lebih jernih
dalam menghadapi keruwetan yang kurasakan akhir-akhir ini. Tapi tetap saja
belum kutemukan jalan keluar untuk masalah-masalahku yang menumpuk jadi satu,
seperti gulungan benang kusut dan ruwet. Ditambah lagi kegagalan demi kegagalan
yang kurasakan, yang membuatku semakin terpuruk di lubang gelap paling dalam. Akhirnya kuputuskan untuk mencoba bangkit dari keterpurukanku.
Sebagai langkah awal, kuputuskan untuk aktif lagi di sanggar.
Pada hari pertama aku datang ke sanggar setelah lama absen, saat
masih memarkir motorku, seorang adikku – Chusnul - datang menyongsong aku,
memanggil namaku dan menyalamiku dengan senyuman manisnya. Senang rasanya
melihatnya… Saat masuk kedalam sanggar aku bertemu Ardi. Aku sudah lama tidak
bertemu dengannya. Saat melihatku masuk, Ardi menyalamiku lalu melompat-lompat
kegirangan dan melakukan gerakan berputar-putar di lantai sambil
memanggil-manggil namaku. Oh Tuhan, senang sekali rasanya mendapat sambutan
hangat dari adik-adikku.
Tidak lama kemudian Candra datang dan menyalamiku. Sudah lama juga
kami tidak bertemu. Saat aku sedang mendampingi dua adikku yang lain belajar
angka romawi, Candra duduk diam disampingku sambil menyandarkan kepalanya di
lengan atasku, seperti seorang anak yang bersandar manja pada ibunya. Ya Tuhan,
hari pertama yang mengharukan. Membuatku bersemangat kembali untuk mendampingi
adik-adikku belajar meski hati dan pikiran sedang berkecamuk.
Kemarin, hari keduaku datang ke sanggar. Saat aku masih memarkir
motorku, Rohmah sudah memanggil namaku dari jauh dan memintaku untuk
menemaninya belajar. Sapaan dan permintaan sederhana yang membuatku
bersemangat… Saat menjelang pulang, hal yang tak terduga dilakukan oleh Putri.
Saat berbincang-bincang dengannya, tiba-tiba dia memelukku dari depan. Aku pun
membalas pelukannya…
Hal-hal sederhana yang kualami dua hari ini membuatku terharu dan
senang, serta memberiku dua pelajaran berharga. Yang pertama adalah soal
penerimaan dan penghiburan. Hal-hal sederhana yang sudah dilakukan oleh
adik-adik di sanggar terhadapku membuatku merasa sungguh-sungguh diterima. Bukan
karena mereka membutuhkanku semata-mata hanya untuk membantu mereka belajar,
tapi penerimaan yang berasal dari hati. Aku jadi merasa percaya diri dan
semakin nyaman berada diantara mereka, merasa terhibur dan memiliki teman dalam
kesepian jiwa yang kurasakan. Hal ini membuatku semakin memahami, bahwa
perbuatan kita sesederhana apapun itu bisa sangat besar pengaruhnya bagi orang
lain. Tidak harus dengan perbuatan-perbuatan besar dan luar biasa. Hanya dengan
sapaan ramah, senyuman hangat, jabatan tangan, keceriaan, dan pelukan dari kita
yang tulus, seseorang bisa merasa diterima dan diakui dalam lingkungan kita.
Selain penerimaan, kita juga bisa memberikan semangat dan energi bagi orang
lain melalui sikap dan perbuatan kita yang sederhana. Ditengah-tengah
kepenatan, kesepian, kekeringan jiwa, dan keruwetan hidup seseorang, hal
sederhana ini bisa menjadi suatu penghiburan. Alangkah indahnya jika kita bisa
hadir dan membantu sesama dengan cara sesederhana ini, meski kita tidak bisa
memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi.
Hal kedua yang kurenungkan adalah mengenai sikap dalam
memperlakukan Allah. Chusnul yang menghampiriku dari kejauhan, memanggil
namaku, dan menyalamiku dengan senyuman manisnya; Ardi yang melompat-lompat
kegirangan saat melihatku datang; Candra yang bersandar manja dalam diam di
lenganku seakan-akan aku ini ibunya; Rohmah yang memanggilku dari kejauhan dan
memintaku menemaninya; Putri yang memelukku dengan penuh keriangan. Mereka
adalah anak-anak yang ceria, polos, apa adanya, bergantung sepenuhnya pada
orang tua mereka. Semuanya itu merupakan gambaran bagaimana seharusnya aku
memperlakukan Allah sebagai Bapa. Bukankah dalam Matius 18 : 3 – 4 Yesus
berkata, “…sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil
ini, kamu tidak akan masuk kedalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa
merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam
Kerajaan Sorga.”
Dalam hidup, apakah aku sudah bersikap seperti anak-anak kecil
itu? Apakah aku seperti Chusnul - senantiasa menanti-nantikan, menyapa dengan
hangat, merasa senang, dan menikmati kebersamaanku dengan Allah dalam doa dan
Ekaristi atau hanya datang padaNya saat aku mempunyai permintaan? Apakah aku
seperti Ardi - merindukan dan menyambut Yesus Allahku dalam Komuni Kudus dalam
sukacita atau malah dengan perasaan biasa-biasa saja bahkan hambar? Apakah aku
seperti Rohmah - memilih Allah sebagai juru selamat dan pendampingku,
senantiasa melibatkan Allah dalam setiap rencanaku dan pengambilan keputusan
dalam hidupku?
Dalam masalah-masalah yang kualami saat ini maupun yang akan
datang, seharusnya aku bersikap seperti Candra yang bersandar di lenganku dalam
diam - yaitu bersikap percaya pada pimpinan Allah, berserah pada kehendakNya
dan bersandar penuh padaNya, bukannya mementingkan kehendakku sendiri,
mengandalkan kekuatanku sendiri dan terlalu sibuk mencari jalan keluar sampai
tidak bisa diam dan tenang mendengarkan suaraNya yang menuntunku. Seharusnya
aku bersikap seperti Putri yang merangkulku - yaitu selalu merangkul Allah,
mendekatkan diri padaNya dan bukannya semakin menjauh dariNya.
Dalam keruwetan masalah yang seakan-akan tidak ada jalan keluarnya
ini, aku harus belajar diam, tenang dan menunggu Allah mencarikan jalan keluar
bagiku dengan caraNya yang ajaib. Dia yang akan memisahkan benang kusut dan
ruwetku satu persatu pada waktuNya…
Di usiaku yang sudah menginjak dewasa ini, aku perlu belajar untuk
menjadi seperti anak-anak kecil itu… Seperti Chusnul… Seperti Ardi… Seperti
Candra… Seperti Rohmah… Seperti Putri… Mereka adalah guru-guru kecilku…
Oleh : Lea Benedikta Luciele
Dimuat
dalam buletin Fides et Actio edisi No.78, Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar