Pada tahun 2016 ini genap 125 tahun dipromulgasikannya Ensiklik Rerum
Novarum oleh Paus Leo XIII pada tahun 1891.
Rerum Novarum menjadi semacam monumen lahirnya cara menggereja yang
baru, yang ditandai dengan keterlibatan kenabian Gereja pada situasi sosial,
politik, dan ekonomi jamannya. Peringatan-peringatan Rerum Novarum dimanfaatkan
oleh para paus berikutnya untuk merefleksi ulang bagaimana Gereja hadir di
tengah kenyataan dunia. Rangkaian dokumen mulai Rerum Novarum dan yang
mengikutinya kemudian akrab kita sebut sebagai Ajaran Sosial Gereja (ASG).
Angka 125 hanyalah sekedar angka, tetapi kiranya menjadi momen istimewa dan
baik bagi umat kristiani untuk merefleksi ulang keterlibatan kenabian kita pada
suka duka dunia, perhatian kita yang serius akan dunia perburuhan, yang nota
bene menjadi pintu masuk yang efektif untuk berbicara perubahan sosial yang
sistemik, dan mempertanyakan secara strategis bagaimana Yubileum Belas Kasih
tak berhenti pada ulah batin devosional tetapi menjadi aksi nyata.
Seruan Rerum Novarum
Rerum Novarum lahir dalam konteks perubahan sosial yang drastis akibat
revolusi industri di wilayah Eropa, menguatnya fokus pada peran modal,
bangkitnya gagasan tentang demokrasi, dan pada sisi lain makin nyatanya bahaya gerakan
komunisme revolusioner yang merasuki kalangan buruh atau pekerja. Karena itu tak heran kalau kemudian fokus
perhatian ensiklik ini tertuju pada persoalan-persoalan perburuhan yang sarat
sentuhan dengan masalah-masalah lain seperti di atas.
Rerum Novarum mengangkat kecenderungan baru di dalam dunia industri, di
mana nasib buruh diserahkan pada penawaran dan permintaan pasar tenaga kerja.
Karena kodrat rakusnya kapital, maka buruh akan cenderung dianggap sebagai
beban produksi. Dengan demikian
pengeluaran untuk kesejahteraan buruh akan ditekan seminim mungkin. Hasilnya
bisa diduga, buruh hidup dalam kemiskinan yang parah dan semakin parah.
Untuk kondisi seperti itu Paus Leo XIII berseru kepada tiga pihak, yakni
buruh, pemodal dan negara. Dengan tegas Paus Leo XIII berseru kepada buruh
untuk bekerja sesuai perjanjian kerja, untuk
menjaga keutuhan aset pemodal, dan menghidarkan diri dari rayuan manis “orang
baik yang berprinsip buruk”, untuk menyebut orang-orang yang ingin mencari
solusi kemiskinan buruh tetapi membenarkan kekerasan. Kepada pengusaha, Paus
Leo XIII berseru untuk menghormati martabat buruh yang jauh melebihi faktor produksi,
untuk tidak memberi beban buruh melebihi kemampuannya untuk memikul, dan
memberi kepada buruh upah yang adil dan tidak dicurangi sedikitpun demi
keuntungan pihak lain. Kepada negara Paus Leo XIII mengingatkan keharusan negara
untuk menjamin terpenuhinya keadilan distributif.
Tantangan Pada Tahun Belas
Kasih
Bagaimana kita menterjemahkan perayaan 125 tahun Rerum Novarum yang bertepatan dengan perayaan Yubileum Belas
Kasih ini? Paus Fransiskus begitu mendarat ketika memaknai kerahiman
Allah sebagai perhatian ilahi yang penuh kasih kepada umat manusia. Allah sendiri merasa
bertanggung jawab; yaitu, Ia menginginkan kesejahteraan umat manusia dan Ia ingin melihat kita manusia bahagia, penuh sukacita,
dan penuh damai (Surat Misericordiae Vultus art. 9). Rerum Novarum dan dokumen yang mengikutinya
selalu menjadi PR kita untuk melihat tanggung jawab umat kristiani dalam
memancarkan iman yang ditandai keterlibatan yang kuat dalam mewujudkan
kesejahteraan bersama.
Paus Fransiskus juga menyarankan agar ritus puasa dan matiraga Gereja
dimaknai sebagai upaya menghadirkan semangat keibuan Gereja yang rahim penuh
ampun, sekaligus meneladankan semangat hidup berkeadilan. “Bukan!
Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu
kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang
teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi
orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan
apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan
tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Misericordiae
Vultus art. 17)
Perayaan 125 tahun Rerum Novarum mempertanyakan lagi apakah buruh masih
menjadi“buah hati Gereja”, yang mesti merasakan buah dari keadilan dan
perdamaian. Bila ya, bagaimana kita akan terlibat dalam aneka permasalahan
perburuhan? Pada jaman ini kaum buruh harus berjuang menghadapi iklim
ketenagakerjaan yang menempatkan mereka pada status kerja yang tidak menentu,
praktek kontrak dan outsourcing tanpa
kita sadari telah menjadi penggilas nasib buruh di era modern ini. Bagaimana
Gereja akan hadir kembali dalam medan struktural ini dan menggaungkan
seruan-seruan Rerum Novarum?
Rm. Ignatius
Suparno, CM
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No.78, Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar