Hembus angin di gelap pekat malam Surabaya tetap tak
menghapus panasnya udara kota itu. Syamsudin pun terpaksa melepas bajunya sambil
duduk santai di becaknya sendiri. Rasanya tak ada yang istimewa di malam itu. Suasana
sepi. Sesepi rezeki yang bisa dikais Syamsudin hari ini.
Guratan garis kulit mulai terlihat di dahi dan
pipi. Kulitnya legam. Di wajah, tubuh dan tangan. Seakan-akan terik matahari
kota sudah menjadi sahabat karibnya.
Sudah 40-an tahun Syamsudin menjadi penarik becak.
Antara kesetiaan, kegigihan dan keterbatasan. Apakah dia memang setia pada
profesi itu... atau memang karena hanya mbecak
bahasa satu-satunya yang dia pahami, entahlah. Hingga akhirnya dia pun
berkisah.
Syamsudin lulusan SD. Sempat masuk SMP, namun tak kelar.
Akhirnya, dia pun memutuskan untuk menarik becak. Sepercik usaha agar dapur
tetap bisa mengepul.
Jombang, sebuah kota kecil di Jawa Timur, menjadi
saksi bisu kelahiran dan perjuangan hidup seorang bayi kecil bernama Syamsudin.
Mbecak semenjak belia hingga menikah
di Jombang ternyata tak kunjung jua mengubah nasibnya. Dia pun hijrah ke kota
pahlawan. “Mbecak di kota pasti hasilnya lebih banyak daripada di desa pikir saya waktu
itu. Ya sudah saya pindah saja,” tuturnya sambil menerawang jauh ke atas
mega.
Lantas apakah di kota nasibnya kemudian berubah?
Anak dan Istri
Surabaya. Kota pahlawan. Tempat para pejuang
meneteskan darah demi kedaulatan bangsa. Rasa-rasanya tempat ini memang sudah
dikutuk demikian. Tiap orang yang bermukim di sana harus berjuang. Jika benar mereka
memang masih mau menghirup nafas kehidupan. Tak ayal, Syamsudin pun demikian.
Tuhan menitipkan dua orang buah hati kepada istri
dan dirinya. Kayuhan becak Syamsudin hanya mampu mengantar anak sulung mereka
lulus SMP. Sementara si bungsu mirip dengannya. Tak lulus SMP lantaran sudah
dipinang orang. “Yang nomor satu dulunya
pingin sekolah lagi sampai SMA, tapi saya ga punya uang. Ya sudah lulusan SMP
saja. Lagian bapaknya juga cuman lulus SD saja. Kan sudah lumayan mas.”
Namun... Ada nada getir dan haru tatkala dia
mengisahkan kedua anaknya. Matanya sembab. Suaranya bergetar. Tatapannya kosong
menerawang jauh ke depan seolah-olah ada penggalan kehidupan yang tengah disesalinya.
Kedua anaknya kini sudah membuat dia bersama
istrinya menjadi seorang kakek dan nenek. Barangkali inilah persembahan terbaik
yang bisa diberikan anak-anak mereka kepada orang tuanya.
Nasib
40 tahun. Ya, sudah 40 tahun dia mengayuh becak. Sayang,
tetap tak banyak yang bisa dia kumpulkan. Hanya dua anak dengan lulusan
pendidikan menengah ditambah otot tangan dan kaki yang mengeras.
“Pulang bisa bawa 10 ribu
saja sudah Alhamdulilah. Tapi kalau pas ramai ya bisa sampai 50 ribu,” terangnya dengan wajah datar, tanpa mengalihkan
pandangan kepadaku. Tak ada nada syukur dalam kata-kata itu. Pahit.
Dadaku berdesir ketika dia berkata dengan suara
bergetar, “Ya gini ini jadi tukang becak.
Ga mesti. Kadang ramai, kadang ya sepi. Yang penting disyukuri. Nrimo in
pandum (menerima saja hidup ini
sebagai pemberian Tuhan) kata orang
Jawa.” Menggetarkan. Bukan karena betapa indah kata-kata itu, melainkan karena
betapa sepinya kesunyian gairah hidup yang terkandung di dalam ujarannya.
Angin malam berhembus. Namun, tetap saja tidak menyejukkan.
Justru meninggalkan panas di tengkuk bersama dengan kegetiran narasi kehidupan yang
disampaikan oleh Syamsudin.
Oleh : Rm. Yohanes Kukuh
Cahyawicaksana CM
Dimuat dalam buletin
Fides Et Actio edisi No. 80, Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar