Pinggir jalan raya bagi sebagian orang tempat yang kurang
menyenangkan. Lalu lalang sepeda motor, mobil dan asap kenalpot menjadi alasan
utama. Tinggal di pinggir jalan raya juga bisa menimbulkan banyak penyakit karena
asap knalpot dan debu. Selain itu juga rawan tertabrak pengendara yang sedang
melintas. Tapi itu tidak bagi Iswinar, laki-laki dengan 4 anak. Pinggir jalan
raya merupakan tempat mencari nafkah sekaligus rumah tempat istrahat.
Dia bukannya tinggal di ruko, rumah, gubuk maupun gedung yang
tertutup namun dia tinggal di alam terbuka dengan hanya beralaskan kardus
bekas. Bagi dia yang penting bisa memejamkan mata dan meluruskan tubuhnya.
Dinginnya angin malam dan nyamuk yang menyerang sudah jadi makanan sehari-hari,
katanya.
Untuk menghilangkan bau aroma tidak sedap keringat supaya pembeli
tidak terganggu, dia mandi di Masjid sekaligus sholat.
Pedagang buah musiman ini kadangkala berjualan di depan gedung
Golkar daerah Korem Surabaya. Pria usia 60 tahun ini mulai berjualan di daerah
ini sejak pagi hingga larut malam. Agar yang beli bisa banyak dan tidak hanya
berjualan di satu tempat, dia keliling ke daerah-daerah pusat keramaian
orang-orang di sekitar Waru dan Rungkut.
Dia menjajakan jenis daganganya bergantung pada buah yang lagi
musim. Kalau musim mangga dia akan berjualan mangga. Ketika musim jeruk dan
salak dia akan jualan. Sekarang lagi musim pepaya dia jual buah tersebut, tutur
Iswinar.
Ketika masih muda pria asal Pasuruan Jawa Timur ini pernah bekerja
di pabrik Sampoerna Rungkut Surabaya pada tahun 1983. Dia hanya bertahan 3
tahun di pabrik rokok karena ada seorang gadis asal Pasuruan lulusan pesantren
meminang dia. Iswinar memutuskan berhenti bekerja dan kembali ke desa. Di Pasuruan
dia bekerja menjadi buruh tani karena tak punya sebidang tanah.
Seiring dengan bertambahnya anggota keluarga, mempunyai anak,
kebutuhan juga bertambah. Hasil menjadi buruh tani di desa tidak cukup untuk
memenuhi kehidupan keluarga. Dia memutuskan untuk kembali ke Surabaya. Dia
menjadi pedagang buah bukan kerja di pabrik kembali karena faktor usia dan
ijasah.
Iswinar sudah 18 tahun menjadi pedagang buah. Dia sangat kurus dan
giginya sudah mulai keropos.
Anak dan istrinya ada di kampung di Pasuruan. Dia pulang satu minggu
sekali sekaligus membawa buah dagangan dari desa. Anak-anaknya tidak mau
mengikuti jejak dia. Mereka memilih tinggal di desa menjadi buruh tani dan
bangunan. Untungnya mereka sudah berkeluarga semua, jadi beban hidup yang dia
tanggung agak ringan, tutur iswinar.
Begitulah potret kehidupan rakyat kecil. Dia tidak peduli dengan
adanya polusi. Dia hanya berfikir bagaimana bisa mengisi isi perut.
Oleh : Mahrawi
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio no.82, April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar