Arloji di pergelangan tangan
kananku saat itu menunjukkan angka 17.00, Waktu Kota Blitar, Jawa Timur. Warna
cakrawala mulai memerah. Itu pertanda sang senja hendak menyapa.
Masih ada waktu bagiku sekitar 60
menit untuk berangkat ke titik kumpul yakni sebuah Gereja Katolik yang berada
di Kota Blitar, Jawa Timur.
Kebetulan hari itu bertepatan
dengan hari Raya Idul Fitri. Aku sudah berjanji dengan sebagian rekan-rekan
muda di sana untuk bersilaturahmi ke rumah salah seorang tokoh dari kelompok
organisasi keagamaan yang berada di daerah Blitar.
Sambil menunggu, aku coba rileks
sejenak dengan duduk di sebuah pendopo sekitar gereja sore itu. Aku keluarkan
sebungkus kotak berwarna putih dari tas kecil yang kubawa. Aku ambil sebatang
rokok dari dalamnya serta sebuah korek sebagai penyulut apinya.
Rokok pun aku bakar dan aku isap
untuk menjadi kawan di kala menanti para rekan. Aku nikmati isapan demi isapan
dari rokokku. Tanpa terasa, dua batang telah aku ubah menjadi abu dan hanya tersisa
gabus pengisapnya. Namun, teman yang dinanti tak juga tiba.
Aku lanjutkan lagi untuk menyulut
api pada ujung batang rokok ketiga. Bola mataku seketika menatap ke arah
seseorang berpakaian warna putih yang keluar dari dalam gereja. Ia pun balas
memandangku serta melambaikan tangannya sambil berseru, "Bro!"
"Sungguh sapaan yang
singkat." Gumamku.
Selepas melambai dan menyapa, ia
pergi begitu saja dengan langkah kaki layaknya orang tergesa-gesa untuk masuk
menuju bangunan di belakang gereja.
Selang beberapa menit ia muncul
kembali. Pakaian yang ia kenakan tak lagi berwarna putih melainkan baju
bermotif garis-garis dengan warna biru terang serta celana panjang warna hitam.
Dari kejauhan tampak kedua
tangannya masing-masing sedang menggenggam cangkir sembari berjalan ke arahku.
Sesampainya di hadapanku, ia menyerahkan cangkir dari tangan kanannya.
"Ini bro, kau cobalah kopi ini," serunya sembari menunggu aku meraih
cangkir pemberiannya.
Segera aku terima secangkir kopi
dari tangan kanannya. Tanpa sabar aku seruput cairan hitam pekat bertemperatur
tinggi itu. Seketika rasa pahit bercampur asam berlari-lari di dalam indera
pengecapku. "Pasti ini jenis kopi arabika," asumsiku petang itu.
Setelah mencicipi kopi darinya,
aku pun balas menimpali seruannya, "Mantap Frater, terima kasih, pas
sekali." Aku biasa memanggilnya frater lantaran ia masih menempuh
pendidikan sebagai seorang calon pemuka agama Katolik.
Ia pun turut duduk di sebelah
kananku. Tak lupa untuk mendampingi secangkir kopi hitam miliknya, sebungkus
rokok ia keluarkan dari dalam saku celananya. Ia ambil sebatang, lalu dibakar
dengan korek apinya.
Lelaki yang mengaku memiliki
paras seperti bule ini cukup menikmati tiap isapan dari ujung batang rokoknya.
"Kita santai dulu sambil menunggu teman-teman yang lain datang,"
ucapnya sambil mengeluarkan asap putih dari dalam mulut dan lubang hidungnya.
Kepalaku hanya mengangguk memberikan isyarat setuju dengan ucapannya.
Setelah kami menunggu dengan
menghabiskan berbatang-batang rokok, akhirnya satu demi satu teman-teman muda
datang. Total ada sembilan belas orang yang hendak bepergian, itu sudah
termasuk dengan kami berdua, salah seorang pastor, dan trio ibu rumah tangga.
Rombongan kami pun terbagi
menjadi dua. Sebagian besar berangkat naik mobil, sisanya berboncengan dengan
sepeda motor. Butuh waktu tempuh sekitar 20-30 menit dari tempat kami berkumpul
untuk bisa tiba di tujuan.
Kala itu aku berboncengan dengan
Frater Rinto (26), begitulah nama kecil rohaniwan muda ini. Lelaki yang lahir
seminggu lebih awal dari waktu kelahiranku ini pun menyalakan kuda besi
berwarna biru yang akan kami tunggangi.
Aku duduk di jok belakang,
sedangkan si Frater bertindak sebagai pengemudi. Dia mulai memuntir gas dan
secara bersamaan melepas kopling di tangan kirinya dengan perlahan. Bersama
dengan rombongan sepeda motor yang lain, kami pun meluncur menuju lokasi.
Jalanan cukup ramai malam itu,
namun lalu lintas masih terlihat lancar. Kondisi ini disebabkan karena sebagian
besar warga dari kota besar yang tampaknya masih menikmati momen lebaran di
kota kecil ini. Kampung halamannya.
Dalam perjalanan bersama
rombongan, kami berdua memutuskan untuk mengendarai sepeda motor di urutan
paling belakang. Alasannya agar kami bisa mengawasi rekan-rekan lain yang
berada di deretan depan. Namun alasan tersebut hanya alasan sekunder, alasan
utama sesungguhnya ialah kami berdua tidak mengetahui arah dan tujuan menuju
lokasi.
Selama dalam perjalanan hawa
dingin terus sibuk menembus jaket tebal yang melekat pada tubuhku. Namun saat aku
coba beradaptasi dengan hawa dingin, lelaki di depanku tampak tenang-tenang
saja. Padahal ia tak mengenakan baju hangat atau semacamnya. "Mungkin ia
sudah terbiasa," dugaanku.
Untuk mengalihkan hawa dingin,
aku coba berkomunikasi dengan si rohaniwan muda ini. "Ter, sekarang siapa
cewekmu?" Tanyaku mengusili pria kelahiran Flores itu.
"Hei, pertanyaan macam apa
itu? Seharusnya pertanyaan itu kamu sendiri yang jawab Mas. Hayo, sekarang kamu
yang jawab." Sahutnya dengan nada tinggi.
"Sedang proses," jawabku
dengan tersendat-sendat. Sontak aku terheran, lantaran pertanyaan yang awalnya
aku berikan padanya malah menjadi bumerang.
"Proses apa lagi ha?"
Sahut si Frater.
"Hidup itu adalah proses
perjalanan. Perjalanan karier, perjalanan cinta, semua termasuk perjalanan
hidup. Hidup dengan berproses, proses yang berjalan. Itu perjalanan
hidup," kilahku.
Si Frater pun menanggapi.
"Bro, kamu benar, tapi kamu juga harus ingat. Hidup bukan melulu tentang
perjalanan proses, namun juga jangan lupa untuk berhenti sejenak, lalu melihat
kembali, memahami dan memaknai. Sudahkah kamu sampai ke perhentian?"
Mendengar tanggapan si Frater
mendadak diriku membisu dalam suasana malam itu. Seketika aku pun ingin
merenung serta bersedia mendengarkan kata demi kata yang terucap dari bibirnya.
Ia melanjutkan tanggapannya
sembari tetap fokus mengemudi. "Jika belum, ada baiknya kamu menentukan
titik perhentian lalu melihat kembali apa saja yang sudah terjadi, memahami
mengapa hal itu terjadi, lalu memaknainya sebagai hasil dari pembelajaran
hidupmu. Lalu, lanjutkan lagi perjalananmu. Begitu terus berulang-ulang."
Mendengar ucapan itu, kali ini
aku hanya mengangguk-anggukan kepala memberi isyarat paham.
Aku mengira cuma sampai di situ,
ternyata ia masih melanjutkan celotehnya. "Kebanyakan teman-teman juga
begitu. Mereka hanya melihat, mendengar, merasakan, dan melakukan perjalanan
hidupnya begitu saja. Itu bagus, tapi sayangnya mereka juga lupa untuk memahami
dan memaknai hidupnya, sehingga yang terjadi sering kali mereka mengeluhkan
tentang kegagalan, kekecewaan, rendah diri, dan segala macam perasaan negatif
lainnya. Coba saja mereka mau berhenti sejenak dan merenungkan hidupnya, mau
memahami maksud Tuhan dan memaknainya, pasti yang ada adalah rasa syukur dan
mereka mendapat hasil yang bermakna." Pungkasnya sebelum kami berdua tiba
di lokasi.
Dalam imajinasiku. Sebelum
pembaca merasa bosan, lebih baik aku segera menghentikan cerita tak berujung
ini.
Dengan berbekal tulisan ini,
sejujurnya aku hendak mengirimkan sebuah pesan untuk si Frater. Aku tak acuh
pesan ini kelak akan sampai padanya atau tidak.
Aku hanya ingin menyampaikan
beribu-ribu terima kasih padanya. Karena petuahnya cukup sakti hingga mampu
membuat diriku diingatkan untuk tetap berefleksi. Berefleksi untuk berhenti sejenak
memberi makna dalam setiap proses perjalanan hidup di dunia ini.
Jika kami berdua bisa berkendara
bersama lagi di lain kesempatan, biarkan aku yang berada di posisi sebagai
pengemudi kuda besi yang hendak kami tunggangi. Karena akan aku ceritakan padanya,
hasil refleksi dari petuah saktinya di masa lampau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar