Pada saat pantang dan puasa banyak umat bertanya mereka harus
pantang apa? Bagaimana cara berpuasa Katolik? Dan sebagainya. Bahkan ada umat
yang mengolok orang mengapa tetap makan daging padahal pada saat ini sedang
masa pantang dan puasa? Seorang anak pun bertanya padaku apakah aku pantang
daging? Kujawab buat apa pantang daging jika sebulan sekali saja belum tentu
makan daging? Lalu dia bertanya aku pantang apa? Aku jawab pantang gula dan
pantang daging babi sebab gula darah dan kolesterolku sedang tinggi.
Sebagai orang yang lahir dalam budaya Jawa, aku sejak kecil sudah
sering mendengar cerita dan diajar soal puasa. Bagi orang Jawa puasa atau
nglakoni adalah usaha untuk mencari kekuatan dari kekuatan supranatural untuk
meraih keinginannya atau harapannya. Misalnya ingin sakti maka berpuasa. Ingin
kaya maka berpuasa. Bahkan sampai ingin mendapatkan jodoh juga berpuasa. Semua
puasa bertujuan untuk kepentingan diri sendiri.
Puasa orang Katolik tidak perlulah repot berpikir pantang makan
apa atau apakah tidak boleh makan dan minum selama seharian atau bagaimana.
Puasa orang Katolik seperti dalam Kitab Suci bukan soal makan dan minum
melainkan sebuah pertobatan. Pertobatan artinya memulihkan relasi kita dengan
Tuhan dan sesama yang rusak karena dosa. Maka puasa adalah saat memperbaiki
relasi kita dengan Tuhan dan sesama. Bukan untuk kepentingan diri atau sibuk
mempersoalkan makan dan minum. “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau
membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya
engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk,” (Yes 58:6)
Dalam lanjutannya Yesaya dengan tegas mengatakan bahwa puasa adalah saat kita
berbagi pada orang yang lapar, orang yang telanjang, dan orang yang tidak
mempunyai tempat tinggal.
Mengapa puasa menurut Yesaya demikian? Sebab untuk berbagi dengan
sesama berarti kita berani mengurangi apa yang kita miliki. Sejauh kita masih
berusaha menggenggam apa yang kita miliki maka kita tidak akan mampu berbagi.
Dengan puasa berarti kita mengurangi apa yang kita miliki. Misalnya biasanya
kita makan sehari tiga kali maka dengan puasa kita merelakan satu kali makan
kita untuk dibagikan kepada sesama yang lapar. Jika kita biasanya naik angkot
maka pada masa puasa uang ongkos angkot kita bagikan pada orang yang miskin.
Kita rela jalan kaki demi orang miskin dapat makan. Inilah puasa.
Apakah jika demikian maka kita sudah memperbaiki relasi kita
dengan Allah? Yesus bersabda bahwa Dia ada di dalam saudara kita terutama yang
miskin. Bahkan surat Yohanes mengatakan “Jikalau seorang berkata: "Aku
mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta,
karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin
mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1Yoh 4:20) Dosa kita adalah karena
kita melanggar kasih pada sesama. Jadi Allah bagi kita bukan pribadi yang jauh,
tidak tersentuh, tidak terlihat dan sebagainya, melainkan Allah itu nyata ada
di tengah saudara-saudari kita yang berada di sekitar kita. Maka memperbaiki
relasi dengan Allah dimulai dengan memperbaiki relasi dengan sesama.
Dengan demikian puasa bukanlah untuk kepentingan diri seperti
orang nglakoni supaya sakti apalagi pamer kalau sedang berpuasa seperti orang
munafik atau hanya bingung pantang daging, garam dan sebagainya. Aku tidak
makan daging bukan puasa tetapi demi kesehatan. Puasa bertujuan untuk menolong
orang lain. Membuat orang lain berbahagia. Maka saat sedang berpuasa dan
berpantang perhatian kita bukan terpusat pada apa yang tidak kita makan atau jam
berapa saja kita dapat makan dan minum, tetapi apa yang dapat membahagiakan
sesama. Membebaskan sesama dari segala penderitaannya. Jika demikian maka puasa
kita ada gunanya, bukan demi kita sendiri melainkan bagi banyak orang yang
menderita.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No.82, April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar