Muhammad
Mujianto, lahir di Surabaya 4 Maret 2004.
Anak bungsu dari dua bersaudara ini sudah tidak lagi memiliki orang tua.
Ibunya sudah meninggal semenjak Ia berumur 11 tahun, sedangkan ayahnya sampai
saat ini tidak tahu entah dimana keberadaanya.
Iyan pernah bersekolah di salah satu SD di Surabaya, tetapi hanya sampai kelas 4 SD saja. Hal ini disebabkan lantaran anak ini merasa tidak diperhatikan oleh wali kelasnya dan merasa tak nyaman sekolah di tempat tersebut. Iyan mencontohkan saat bel pulang sekolah berbunyi, tiap – tiap anak baris di kelas untuk berpamitan dengan wali kelas. Ketika tiba giliran Iyan, sang guru tak menggubris sama sekali dan membiarkannya melintas begitu saja. Ada hal lain juga yang menyebabkan Iyan enggan untuk kembali lagi bersekolah. Ternyata menurut pengakuan Iyan, jika di sekolah tidak ada yang mau berteman dengannya. Kebanyakan dari teman – teman cowoknya yang tidak mau berteman dengannya malah mengajak ia bertengkar dengan teman cowok yang lainnya.
Setelah
tidak lagi bersekolah kehidupannya hanya dihabiskan di rumah saja. Kebetulan
pada saat itu ia bertempat tinggal di daerah jalan Nginden Surabaya, di sebuah
rumah kos dengan kakak perempuanya. Aktivitasnya hanya sekedar bantu bersih –
bersih rumah, mencuci baju, dan bermain dengan anak sebayanya. Sampai suatu
ketika ia diajak temannya bermain di terminal angkutan umum Joyoboyo. Dari
sinilah awal dimana ia mulai berkawan dengan kehidupan jalanan. Ia mulai diajak
temannya yang hidup di terminal tersebut untuk mengamen dari bus kota ke bus
kota yang lain, hingga pernah mengamen sampai ke luar kota Surabaya seperti
Malang, Semarang, dan yang paling jauh sampai Cirebon. Pendapatan seharinya tak menentu katanya, jika
dirata – rata sehari bisa mendapatkan uang antara Rp. 30.000 – Rp. 50.000. Uang
dari hasil mengamen biasanya Ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari
seperti makan, jajan, beli pakaian pribadi, hingga dibagikan kepada kakak
perempuannya.
Kehidupan
di jalanan bukan berarti tenang – tenang saja seperti kita hidup di rumah
bersama orang tua. Ancaman satpol PP selalu menghantui
siapa saja yang menjalani kehidupan di jalanan. Iyan juga tidak luput dari
sergapan Satpol PP. Hal ini dialaminya tidak sekali tetapi sampai 4 kali ia
terjaring Satpol PP. Salah satunya dibawa ke Liponsos Surabaya kurang lebih
selama 1 minggu lamanya. Aktivitas yang ia dilakukan selama disana hampir tidak
ada. Rutinitas yang dijalani hanya makan jika waktunya makan, jika waktunya
tidur ya tidur, selebihnya tak melakukan kegiatan apa - apa.
Pengalaman
yang ia dapatkan ketika di tempat – tempat dimana ia dibawa oleh Satpol PP
tidak begitu banyak. Menurutnya hanya mendapatkan teman baru, selebihnya tidak
ada.
Iyan
menegaskan bahwa ia memiliki rencana untuk bisa kembali lagi bersekolah sampai
Sekolah Menegah Kejuruan. Lalu setelah itu mulai bekerja sambil menabung gaji
dari hasil bekerja agar bisa digunakan untuk membuka usaha warung internet yang
besar.
Hasil
wawancara Agus Eko Kristanto terhadap Muhammad Mujianto, salah satu anak
dampingan Sanggar Merah Merdeka (SMM)
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 83, Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar