Pada tanggal 21 Mei 2017 yang lalu, Pusat Pengembangan Sosial
(PPS) – Yayasan Kasih Bangsa Surabaya mengadakan sarasehan dengan tema “Ketika
Intoleransi Menista Bangsa”. Acara diadakan di sekretariat PPS Jl. Kinibalu 41
Surabaya dengan dihadiri oleh sekitar 50-an orang yang mewakili
kelompok-kelompok pendampingan masyarakat sipil yang ada di Surabaya, Sidoarjo
dan Probolinggo serta perwakilan sie Kerawam dari beberapa Paroki yang ada di
Surabaya.
Narasumber yang dihadirkan untuk berbicara tentang tema diatas
adalah Gus Muhammad Al-Fayyadl,
koordinator nasional Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)
dan Romo Ignatius Suparno CM, ketua
Yayasan Kasih Bangsa Surabaya.
Dalam paparannya, Gus
Fayyadl menyampaikan bahwa sebenarnya kata menista ini mengandung luka
sehingga kalau luka itu mengalami pengulangan akan menambah luka lagi.
Intoleransi menemukan lahan subur dengan keadaan /prakondisi:
Ø
Belum
tuntasnya pola pikir demokrasi setelah masa orde baru. Dalam cara-caranya masih
menggunakan kekerasan. Rezim kediktatoran menghalalkan segala cara untuk
memperoleh kekuasaaan.
Ø
Kediktatoran
dulu ada di kalangan birokrasi, hari ini ibarat virus. Kediktatoran itu
menyebar di masyarakat.
Ø
Kita tidak
punya model pendidikan yang mengajarkan keberagaman yang berakar dari
masyarakat.
Model pendidikan:
Ø
Multikultural
: pengenalan Indonesia dengan banyak suku dan agama ==> mengarah ke ideologi
multikultural ==> gagal karena hanya dipahami oleh kalangan elite, pendidik.
NU sempat ada fatwa haram untuk pluralisme. Menakutkan karena dianggap mirip dengan
di Barat. Seolah-olah plurarisme itu paham yang menyamaratakan semua agama.
Dalam NU sendiri sempat ada kelompok purifikasi aqidah, tujuannya memurnikan
aqidah dan menghabiskan semua pihak yang tidak sesuai dengan aqidah. Ini di NU
yang terkenal moderat, apalagi di organisasi-organisasi lain.
Ø
Ketidakberhasilan
kita merumuskan Pancasila & Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika
menjadi kata-kata yang kurang kekinian untuk orang muda kekinian. Filsafat
pancasila menjadi kuliah yang membosankan karena dianggap jadul, apalagi sempat
juga mata pelajaran pancasila dihapus dari dunia pendidikan. Pancasila harusnya
dikemas lagi dengan bahasa dan rumusan yang lebih relevan, yang lepas dari orde
baru.
Hal-hal yang mempengaruhi intoleransi (lengkapnya lihat bagan):
Discursive powers: kekuatan wacana. Korban: kaum
minoritas. Disuburkan oleh kekuatan yang mengambil keuntungan dari intoleransi,
kekuatan yang memainkan sumbu ketika aksi intoleransi itu terjadi. Gagasan
khilafah menjadi sejajar dengan kekuatan Pancasila. Pembubaran HTI bisa jadi malah memperkuat
daya tawar FPI di Indonesia. Elite-elite lokal yang memainkan peran.
Gagasan menjadi ideologi kalau ini mempunyai massa, body (materiality). Body ini yang
menggerakkan suatu ide.
Konsep khilafah: negara yang dipimpin seorang kholifah. Kholifah:
pemimpin yang punya keberpihakan pada agama. Saat rapat BPUPKI, sebenarnya NU
sempat tergoda untuk menerapkan khilafah maka muncul Piagam Jakarta. Tetapi
kemudian diambil jalan tengah sehingga Presiden itu diberi gelar kholifah.
Sedangkan posisi umat beragama lain dalam khilafah juga belum jelas. Dalam
khilafah klasik ada kafir hardi (non-muslim yang memusuhi islam) & kafir
khidmi (non muslim yang tidak mau menjadi muslim tapi dalam tanggungan
muslim).
Desire (objection & auto
immunity): perasaan
takut tidak utuh ketika bertemu dengan sesuatu yang berbeda. Contoh: kalau
masuk di suatu kampung yang berbeda agama, merasa baru utuh kalau semua warga
kampung seagama dengan dia.
Kopulisme: gerakan baru yang menggunakan massa. Arah gerakannya
tergantung arah pemimpinnya.
Media punya peran penting. Kelompok-kelompok toleransi sangat
minim di medsos
~ Rm. Ignatius Suparno CM : Ketua
Yayasan Kasih Bangsa Surabaya ~
Saat ini bangsa kita masuk dalam satu
tingkatan situasi yang sangat menarik sekaligus sangat mengancam. Kita sudah
terbiasa menyatu dalam perbedaan, tiba-tiba dihadapkan pada situasi yang
menantang persatuan dari perbedaan itu. Dalam waktu yang cepat intoleransi
sudah hampir menistakan bangsa kita.
Orang berbicara politis dengan mengatakan
bahwa Ahok hanya test case untuk
menentukan nasib Jokowi. Bagi saya tidak, ancaman ini bukan melulu tentang Jokowi,
tetapi tentang keutuhan kita sebagai bangsa yang multikultur. Perpecahan yang diincar orang bukan
perpecahan koalisi partai yang akan menjatuhkan atau mempertahankan Jokowi,
tetapi perpecahan dan kehancuran bangsa yang sudah mentradisikan indahnya persatuan,
untuk bisa dieksploitasi dengan leluasa. Kehancuran “modal sosial” kita akan
menjadi peluang bangsa lain untuk mengeruk modal alam negeri ini lewat
tangan-tangan kotor anggota bangsa kita sendiri.
Dua Posisi Cara Berpikir
Erich Fromm, seorang sosiolog dan
psikoanalis, memetakan bagaimana manusia
menterjemahkan jatidirinya. Dia mengatakan TO HAVE dan TO BE, memiliki dan
menjadi.
Belajar dari pemetaan di atas, kita bisa
melihat bahwa hidup beragama berada pada dua posisi, posisi menemukan dan
posisi mencari. Agama apapun akan menawarkan kebenaran yang telah
ditemukan atau dimiliki. Beragama berarti meyakini bahwa dirinya telah
menemukan sesuatu yang benar. Orang yang merasa telah menemukan, secara insani
dia akan lebih percaya diri, dan secara imani dia akan merasa telah menggenggam
“kebenaran ilahi”. Orang yang sudah
berada dalam keyakinan seperti itu akan dengan damai mengatakan “agama ageming aji”, menjadi sesuatu yang
berharga untuk dipegang atau dikenakan.
Pada posisi atau kutub yang lain agama yang
sehat juga akan mencari. Orang yang mencari akan menyadari bahwa ia dalam
proses menjadi. Mencari berarti merasa bahwa yang telah ditemukannya belum
sempurna. Atau paling tidak kesempurnaan yang telah diyakininya harus diolah
ulang untuk bisa menghadapi jaman dan medan yang baru, untuk bisa menjadi empan papan atau kontekstual .
Beragama yang dinamis tentu akan bersiklus menyentuh
kutub yang lain, dari penemuan dan pencarian. Penghayatan yang demikian akan
membuat pengikutnya percaya diri akan iman yang diikutinya, dan pada saat yang
sama akan rendah hati untuk menerima tantangan baru agar iman bisa
diaplikasikan pada jamannya dan medannya. Pemutlakan akan penemuan bakal
melahirkan sikap kaku, intoleran, atau cenderung memaksakan kehendak pada orang
lain yang berbeda. Pemutlakan akan pencarian menyebabkan orang mudah
terombang-ambing, tidak merasa ada pegangan kuat, cenderung sinkretis (sirik).
Orang Katolik kadang harus mengakui
kepicikannya, sementara para Bapa Gereja telah merumuskan dalam konsili yang
sama, Konsili Vatikan II, bahwa Gereja tak hanya dipanggil untuk menjadi Lumen Gentium (terang bangsa-bangsa) karena
martabatnya yang luhur; pada saat yang sama Gereja mesti menyadari
keberadaannya dalam dunia yang berubah-ubah, yang mencemaskan, dan Gereja harus
hadir sebagai Gaudium et Spes (sukacita
dan pengharapan).
Introspeksi
Dalam Sebuah Ketegangan
Rana Kabbani (1958 - ) adalah seorang
kritikus seni, penulis, muslimat dan advokat untuk dunia Islam. Ia anak
diplomat Damascus yang pernah hidup di Indonesia tiga tahun pada masa
remajanya. Buku memoar-nya, “Letter to the Christendom” meski sudah jadul tetapi cukup membantu
siapapun yang berniat berdialog dalam iklim multikultural. Tulisannya mencerahi
kita untuk bersabar dalam memahami perbedaan cara beriman dua agama
samawi, Islam dan Kristiani. Pendekatannya
menjadi sangat familier karena lebih menekankan dialog hidup sehari-hari, bukan
kupasan teologis yang memaksa kita menarik nafas panjang ketika menemukan
perbedaan.
Melihat pendekatan Rana Kabbani kita layak
mensyukuri iklim yang ada di Indonesia. Di negeri ini sebenarnya relatif tak
terjadi perdebatan teologis yang serius. Kondisi seperti ini bisa menjadi
kondisi yang subur untuk mengembangkan ukhuwah
wathaniyah untuk bisa berdampingan secara damai sebagai warga bangsa, dan ukhuwah basyariyah untuk bisa berdialog
dengan damai karena sama-sama menjadi warga manusia yang sama-sama bermartabat
tanpa pandang apapun agama dan latar belakang etnisnya.
Dari Kabbani juga saya mempelajari bahwa
Islam dan Kristiani memiliki tradisi berbeda, namun perbedaannya justru bisa
memberi ruang untuk saling meneguhkan dan melengkapi. Islam memiliki kekayaan tradisi
ketaatan yang kuat pada praktek hidup sehari-hari, irama doa, pembersihan
diri, makanan yang boleh dan tidak, dan aneka penanda identitas yang jelas yang
harus ditaati. Sebaliknya Kristianitas begitu menekankan rasionalitas, kesadaran,
kebebasan, penghayatan. Secara filosofis, keduanya adalah dua kaki yang
memang mesti berjalan bersama, ketaatan praktek hidup yang adalah materia-nya, dan penyerapan,
rasionalitas, kesadaran, penghayatan adalah forma-nya. Bila mau sama-sama
merendah, dua jalan tadi justru merupakan kekuatan yang menumbuhkan semua
pihak. Sebaliknya, intoleransi justru akan memasung satu kakinya sendiri, atau
bahkan mengamputasi keduanya.
Kegelisahan
dan Harapan Gerakan Masa
Kepada kita baru saja dipertontonkan gerakan
masa yang sangat dramatis mulai dari gerakan untuk menuntut pemenjaraan Ahok sampai
aksi sejuta lilin di berbagai kota. Ini
harus diwaspadai, karena semua ini bisa saja merupakan plot atau rencana
jahat untuk membuat bangsa Indonesia terbelah dua dan dihadapkan dengan
semangat permusuhan dan kekerasan. Itu sudah menjadi modus global. Kehancuran bangsa-bangsa
Arab yang kemudian disebut sebagai Arab
Spring (Musim semi Arab) telah lebih dahulu mengalami dari tahun 2010,
bahkan sebelumnya. Sakitnya, spring yang
terjadi bukanlah musim semi, melainkan revolusi yang menghancurkan negara negara
mereka mulai dari Tunisia diikuti yang lain.
Pada satu sisi, gerakan masa ini adalah
harapan, karena menunjukkan hitam putih kecintaan kita pada bangsa Ini, baik
mereka yang memaksakan kehendaknya maupun kelompok lain yang mencoba mengangkat
keaslian Indonesia sebagai bangsa multikultur. Ini juga harapan, karena
menunjukkan bahwa semakin banyak orang tak mau sekedar menjadi silent majority, jumlah besar yang tak
berkata apa-apa.
Langkah strategis apa yang
bisa diambil untuk memulihkan keterpecahan bangsa ini?
· 1. Gerakkan kekuatan besar bangsa Indonesia, yakni Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama yang telah berdarah-darah mempersatukan dan mendidik bangsa ini
mulai dari perkotaan sampai pedesaan haruslah bersatu suara. Pastilah mereka
akan didukung kelompok-kelompok rasional yang sungguh-sungguh cinta tanah air.
· 2. Berkampanye agar hukum jangan sampai toleran terhadap mereka yang
mentolerir pemelintiran kebesaran agama dan keanekaragaman budaya, dan
merendahkannya menjadi alat politik
murahan.
·
3. Kita,
tetaplah membarakan di dada “lagu kebangsaan” kita!
Acara diakhiri pada pkl. 13.15 dan dilanjutkan dengan makan siang
bersama secara sederhana, sekaligus merayakan hari ulang tahun YKBS yang ke-8.
Dicatat oleh : Silvana
Foto : Veronica Sari Fuji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar