Slamet (72) sudah mengayuh becak sejak tahun 1963 hingga hari ini
di daerah kota Bojonegoro Jawa Timur. Bagi dia, “kesehatan tidak hanya selalu
bertumpu pada apa yang kita makan, seberapa sering kita olah raga, tapi sejauh mana
kita bisa mengelola pikiran kita," ucapnya.
Slamet kelahiran Bojonegoro. Ia mempunyai lima putra dan enam
cucu. Istrinya kini usianya 68 dan dalam kondisi sehat.
Selain menjadi tukang becak, dia juga menjadi tukang kebersihan
pemkot Bojonegoro sejak tahun 1995 sampai 2014. Pada tahun 2014, dia di
berhentikan dari dinas kebersihan tanpa uang pesangon dan hanya dapat uang tali
asih.
Setelah tak bekerja di dinas kebersihan, dia tetap menjadi tukang
bersih-bersih di sebuah lembaga dekat dinas sosial dengan gaji Rp. 300.00 per
bulan. Gaji yang ia terima setiap tanggal 1.
Slamet setiap hari rata-rata mengantar 6 kali penumpang. Dia
sering mangkal di depan dinas sosial Jl. Panglima Sudirman Bojonegoro.
Ia tidak terlalu ribet memikirkan kehidupannya. Baginya yang
penting bisa memenuhi kebutuhan harian. Untuk kebutuhan esok harinya atau bulan
depan, dia tidak terlalu mikir diluar kemampuannya .
Walaupun kehidupannya jadi tukang becak, Slamet mampu
menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi, di kampus Universitas Diponegoro
Semarang.
Bagi Slamet, “manusia tidak boleh jadi orang yang serakah dengan
menumpuk harta. Percuma kita punya harta banyak tapi menindas orang lain. Uang
banyak tapi punya penyakit stroke, kolestrol dan darah tinggi," pungkasnya.
Di hari raya Idul Adha ini, ia menyarankan untuk berqurban dan
tidak menyakiti orang lain agar harta dan kehidupan kita barokah.
Oleh : Mahrawi
Dimuat
dalam Buletin Fides Et Actio edisi no.88, Oktober tahun 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar