Pada saat menulis ini sebenarnya saya agak
sedikit kebingungan. Bagaimana harus memulainya. Dengan kata dan kalimat apa
agar tulisan yang kurang penting ini bisa menjadi tulisan yang layak dikonsumsi
oleh orang yang bisa membaca tapi malas untuk membaca. Ini kesulitan tersendiri
bagi saya pribadi. Adakalanya mempunyai keinginan untuk beramal dengan membuat
tulisan, tetapi adakalanya juga keterbatasan yang jadi penghambat. Pada
akhirnya dengan senang hati saya putuskan untuk mengawalinya dengan segala
keterbatasan saya.
Dalam tulisan ini saya akan mencoba memaknai dan
memberi pemahaman yang sesuai dengan judul di atas. Terlebih tentang apa
sebenarnya itu membaca. Makna apa yang didapati ketika membaca? Pemahaman
seperti apa yang bisa didapat? Mungkin
tidak akan terjawab semuanya secara gamblang.
Kita semua tahu jika setiap orang berbeda-beda
ketika sedang menikmati kesenangan hidupnya atau menikmati hobinya. Dengan cara-cara
yang berbeda manusia melepaskan semua gairahnya untuk melakukan berbagai
aktivitas yang dapat menyenangkan hati. Tidak sedikit juga aktivitas itu dapat
menghasilkan sesuatu berupa uang, kebanggaan, perhatian dari orang terdekat dan
aktivitas yang dapat menyehatkan tubuh. Bahkan, ada juga aktivitas yang dapat
bermanfaat bagi orang lain. Apa aktivitas itu?
Membaca kiranya ialah aktivitas itu. Membaca
ialah aktivitas yang sebenarnya sangat menyenangkan. Sebab tujuan membaca
sendiri tidak hanya menjadikan diri kita berbeda dengan gorila di kebun
binatang. Lebih dari itu. Selain dapat bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari,
membaca juga dapat menambah pengetahuan kita tentang alam semesta beserta
isinya. Misalnya, sebagai orang yang pernah membaca buku tentang hukum dan
undang-undang. Sewaktu mendapati seorang kawan yang awam tentang hukum—yang
kebetulan juga sedang berada dalam fitnah keji seseorang maka dia mendapat
hukuman yang tidak adil karena fitnah itu. Dalam keterbatasan kita, kita tetap
bisa menolongnya walau hanya sebatas pada pendampingan. Atau misalnya lagi,
sebagai orang yang bergelut dalam dunia sosial. Dapat dipastikan juga kita akan
berhubungan dengan berbagai manusia yang ilmu pengetahuannya sangat
bermacam-macam jenisnya itu. Agar dapat memaksimalkan hubungan kita dengan
banyak pihak, mau tak mau kita dituntut untuk membantu satu dengan yang lain
serta saling melengkapi diantara banyak ilmu pengetahuan yang berbeda. Ada
banyak ragam kegunaan yang bisa didapat dari membaca buku karena seperti
peribahasa lawas, buku memang adalah
jendela dunia.
Akan tetapi mengetahui anak-anak, remaja, bahkan
orang dewasa yang sudah kehilangan minatnya untuk membaca ialah fakta yang
sangat menyedihkan. Hasil studi UNESCO sepuluh tahun terakhir menunjukan minat
baca di Indonesia terbilang sangat rendah. Indonesia menempati peringkat kedua
terendah dari 60 negara untuk kategori minat baca. Menyedihkan bukan?
Bergeser sedikit ke topik lain yang tidak begitu
jauh dari tema membaca buku. Bahwa ada yang tak kalah menyedihkan ialah aspek
pendidikan kita yang tak menentu tujuannya bagi rakyat. Saya memahami
pendidikan kita sebatas bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji
besar. Mendapatkan profesi yang dapat mendulang untung di awal kerja hingga
pensiun. Apakah sebuah kesalahan bercita-cita demikian? Tentu tidak ada yang
salah. Tapi apakah hanya cita-cita itu yang menjadi keutamaan dari tujuan
pendidikan yang kita terima? Ini harus dipikirkan lebih serius lagi oleh pihak
yang bertanggung jawab pada aspek pendidikan.
Sebab, aspek yang bisa diharapkan atau cara lain
yang dapat mendorong seseorang agar lebih berkeinginan untuk membaca ialah
aspek pendidikan formal SD, SMP, SMA dan seterusnya. Asalkan dengan syarat kurikulum
pendidikan tidak bersifat mengekang dan menyamaratakan bermacam kecerdasan yang
ada, maka itu tidak akan bersifat bertentangan dengan hakikat dan cita-cita
pendidikan semestinya. Kalaupun sekarang fakta mengatakan sebaliknya, itu
permasalahan yang tidak bisa diterima begitu saja. Pasalnya, tujuan utama
pendidikan tidak untuk menjauhkan seseorang dari lingkungan manusia sosialnya
ketika dewasa. Justru sebaliknya, mempererat seseorang itu dengan lingkungan
manusia sosialnya. Dengan begitu pendidikan akan menciptakan makhluk sosial
dalam arti yang sebenarnya.
Kalau pendidikan sebatas menjadikan kecerdasan
yang ada sekedar untuk menggapai sukses di ranah ekonomi atau sekedar untuk
masalah isi perut dan badaniah, lantas adakah perbedaan mendasar antara manusia
modern dengan manusia ketika masih berwujud homo
erectus selain bentuk fisik?
Bisa baca? Kebanyakan jawaban orang dewasa
sekarang demikian: “Bisa tapi tidak sempat karena harus cari uang jadi tidak
ada waktu”. Dan masih banyak lagi faktor yang jadi penyebab.
Satu pendapat terakhir. Di abad-21 ini situasi
kecerdasan seseorang dalam perwujudan serta menerapkannya masih sibuk di dalam ‘rumah
tahanan’ ekonomi yang mekanis dan dorongan paksaan oleh kewenangan dibalik
kecerdasan yang dimilikinya. Lupa bahwasanya kecerdasaan murni buah dari
membacalah yang dapat menyelamatkan manusia sosial dari ketidaktahuannya akan
cara kerja dunia yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar