Rasa bimbang menyelimuti pikiranku, dimana
nantinya aku akan live in. Sebelum live in aku justru sibuk mempersiapkan
peralatan yang dibutuhkan bukannya menyiapkan mentalku. Dalam kegiatan live in ini kami belum diberi tahu
nantinya akan ditempatkan dimana. Hal inilah yang membuatku semakin takut
apakah aku bisa bersosialisasi, berinteraksi dan menyesuaikan diri disana.
Ternyata aku ditempatkan di perkampungan
pemulung, tepatnya di Jl. Kejawan Putih Tambak Gg. Pompa Air,
Kejawaan Putih Tamba, Mulyorejo, Kota Surabaya, Jawa Timur. Aku mencoba berinteraksi secara langsung
dengan membuka percakapan kecil dengan Mas Yusup, dengan harapan bisa menjadi
pembuka yang baik dalam perkenalan. Beliau adalah induk semangku untuk beberapa
hari kedepan.
Pak Yusuf adalah juragan/pengepul sampah
disana sehingga Pak Yusuf memiliki beberapa anak buah disana. Pak Ansori, salah
satu anak buahnya adalah bapak yang mengajari pelajaran kehidupan secara nyata
di Surabaya. Aku diajak Pak Ansori untuk mencari sampah di Terminal. Jarak
tempuh untuk mencapai Terminal kurang lebih 5 km, semua ini ditempuh dengan
bersepeda. Melelahkan, namun aku selalu melihat wajah pengharapan dan semangat
dari Pak Ansori yan membuatku pantang menyerah. Aku dan Pak Ansori mengambili
sampah pada jam 6 sore dan nanti sampai di rumah kurang lebih jam 10 malam.
Bersepeda menyusuri kota metropolitan ini
membutuhkan perjuangan, terlebih lagi bagi Pak Ansori yang menggunakan sepeda
dengan keranjang besar. Ukurannya hampir setengah jalan, sehingga tak sedikit
mobil/motor yang meng-klakson. Untuk menyebrang juga harus hati-hati. Satu jam
perjalanan telah aku lalui dan ahkirnya sampai di sebuah bengkel. Rupanya ini
alasan Pak Ansori mengapa berangkat jam 6 sore, karena menunggu bengkelnya
tutup sehingga tempatnya bisa untuk memarkirkan sepedanya. Setengah jam
beristirahat sembari merilekskan badan dari hiruk pikuk jalanan yang padat, aku
menanyakan beberapa pertanyaan kepada Pak Ansori, salah satunya mengenai hal
yang paling berkesan/paling disyukuri (bermakna).
Hal yang paling disyukurinya adalah dapat
membahagiakan keluarganya. Aku sungguh terenyuh dengan jawaban Pak Ansori, yang
dapat kulihat bahwa Pak Ansori mengatakannya dengan sepenuh hati. Dengan
membahagiakan keluarganya, ia merasa mendapat kekuatan yang begitu besar dalam
dirinya. Sehingga dalam mencari nafkah seperti ini Pak Ansori tidak pernah
patah semangat apalagi merasa wegah-wegahan
seperti diriku. Dari Pak Ansori aku menyimpulkan bahwa ia adalah pribadi yang
tangguh dan berjiwa militan. Aku mulai meneladani sikapnya untuk menjadi
pribadi yang tangguh juga, tidak loyo. Mengingat salah satu butir kepemimpinan
dari LKTD yang pernah kujalani dikelas X yaitu Totalitas, tidak
setengah-setengah.
Tepat pukul 07.30 akhirnya kami berangkat
mencari sampah. Namun tiba-tiba mataku terpana dengan mobil bersirine orange dari arah Utara. Ternyata itu
adalah satpol PP. Aku dengan Pak Ansori sungguh mencolok karena membawa bagor
di samping bahu kami masing-masing. Dengan berbisik Pak Ansori bilang kepadaku
“Ayo lari, lari. Ada satpol PP”. Karena saking ketakutannya, aku justru lari
sekencang mungkin. Namun temanku Fafa bilang “Sek dap enteni, aku raiso mlayu”
Aku pun menjadi bimbang. Namun semua ini langsung mereda karena satpol PP itu
tidak jadi mengejar kita. Mereka hanya berhenti di bahu jalan di bawah lampu
merah perempatan untuk membeli makanan.
Sudah berjuang melawan ramainya jalanan
malam, juga harus waspada kapanpun dan dimanapun berada. Aku hanya terdiam
merenenungkan betapa beruntungnya diriku yang jauh dari lingkungan seperti ini,
tidak memikirkan bahaya apapun sebegitu paniknya. Live-in kali ini benar-benar mengajarkanku banyak sekali nilai
kehidupan bagi diriku. Aku semakin bisa untuk mensyukuri hidup, semakin rendah
hati, pantang menyerah dan lebih memahami sesamaku. Terkadang aku masih merasa
kurang puas atau kurang dengan apa yang sudah aku miliki. Akibatnya aku jadi merasa
belum mencapai tujuan dan kurang bisa mensyukuri apa yang sudah kumiliki. Mulai
sekarang aku akan lebih mensyukuri apa yang aku miliki.
Oleh : Bonifatius
Wisnumurti Bayuaji
XIA4/5,
De Britto’19, Januari 2018
(dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 95, Mei 2018)
(dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 95, Mei 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar