Siang ini benar-benar panas. Padahal
baru sekitar jam 10.00 pagi. Gereja St Vincentius A Paulo (SVAP) sepi, paska
pengeboman yang terjadi di tiga Gereja tanggal 13 Mei 2018 yang lalu. Aku
sejenak duduk di bangku panjang sebelah pos satpam sambil menunggu anakku yang sedang
ke kantor sekretariat gereja. Sepi sekali. Hanya ada seorang karyawan dan
seorang satpam menjaga gereja. Di poliklinik juga hanya terlihat ada dua pasien
saja.
Pintu gerbang gereja hari ini
ditutup semua demi keamanan. Untuk keluar masuk hanya bisa melalui satu pintu
saja demi kemananan bersama, mengingat pengeboman kemarin aksesnya cukup dekat
dengan gereja SVAP. Sambil menunggu, aku sempat berbincang-bincang dengan pak
satpam masalah teror bom kemarin.
Disela-sela percakapan aku
tertarik sekali melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan. Seorang bapak yang
kemudian baru aku tahu ternyata salah
satu anggota paguyuban becak SVAP sedang asyik menyiram semua tanaman yang ada
di depan gereja, juga yang di seberang gereja. Dia menimba dari air got yang
kebetulan cukup bening juga. Dia seperti tak peduli dengan sekitarnya. Semua
tanaman disiramnya dengan sepenuh hati dan kegembiraan. Teman sesama tukang becak
yang lain tertidur lelap di becak masing-masing. Dia tidak peduli dan terus
menyiram semua tanaman.
Saat kudekati dan kutanya, beliau
ternyata bernama pak Sumadi, salah satu tukang becak di SVAP. Sudah punya cucu
dan buyut, tapi masih ingin bekerja. Ia tak ingin bergantung pada anak-anaknya. Rumahnya di daerah Rungkut dan
istrinya juga masih sehat. Kata pak satpam tadi, bapak becak satu ini memang
beda. Depan gereja disapu bersih setiap hari, semua tanaman disiram dengan suka
cita. Saat ditanya mengapa semua dilakukan jawabnya sederhana saja, ”Kalau
bersih kan semua juga enak memandangnya, kalau semua tanaman di sekitar gereja
ini menjadi subur dan indah kan enak juga yang melihatnya.”
Pak Sumadi tidak pusing dengan
bom yang terjadi di sekitarnya. Dia tetap menyirami tanaman, dia tetap menyapu
halaman depan gereja. Dia tidak melihat itu Kristen, saya Muslim. Pak Sumadi
profil sederhana yang menjalankan imannya juga dengan sederhana gak neko-neko (tidak macam-macam). Rasa
cintanya pada sesama dan lingkungan tanpa gembar-gembor dijalankan dengan sederhana
dan tulus. Itulah kasih sesungguhnya yang dipraktekkan pak Sumadi dalam
menjalani hidup ini.
Dia tidak mengerti ilmu filsafat,
dia tidak mengerti politik, tidak mengerti ilmu agama yang tinggi-tinggi. Dia
hanya mengerti kalau jadi Islam harus solat dan juga mencintai sesamanya. Itulah sosok pak Sumadi yang sederhana, yang
tanpa kita sadari semua sesungguhnya
beliau juga ikut menjaga keamanan dan keselamatan gereja. Diantara hingar
bingar bom di Surabaya, terima kasih masih ada pak Sumadi sang penyejuk hati.
Andaikan banyak orang seperti pak Sumadi betapa indahnya hidup ini.Terima kasih
ya Pak Sumadi, Bapak telah ikut ambil bagian menjaga gereja kami. Berkah Dalem
Gusti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar