Posturnya
kecil mungil, lebih pas disebut kurus kering. Aku sering melihatnya saat
bermain dengan teman-temannya se kampung. Badannya makin tampak mungil, karena
dibalut jilbab warna hitam. Dia gadis yang lincah. Kakeknya seorang tukang
becak, neneknya sudah meninggal. Ibunya meninggal karena penyakit HIV. Itu baru
ku tahu saat sudah meninggal. Sebetulnya ibunya cantik, tapi mungkin karena HIV
dia jadi kurus sekali hingga meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Aku juga
baru tahu kemarin kalau ayah anak itu juga baru meninggal, tapi meninggal di
desanya setahun yang lalu. Bisa jadi dia meninggal juga karena HIV. Gadis kecil
itu bernama Bunga (nama asli disamarkan).
Dia punya kakak perempuan masih duduk di kelas 6 SD bernama Mawar (nama asli disamarkan). Bunga
sendiri baru duduk di kelas 1 SD. Kata para tetangga seharusnya sudah kelas 4
SD, tapi karena sering sakit Bunga sering tidak naik kelas.
Aku sangat terkejut
setahun yang lalu seorang tetangga bercerita kalau Bunga juga kena HIV. Pak
Lurah dan Puskesmas setempat telah banyak membantu pengobatannya. Yang aku tahu
juga, pak RT sebulan sekali membawa Bunga ke rumah sakit untuk kontrol.
Kehidupan Bunga dan kakaknya memang kurang beruntung. Kakeknya yang tukang
becak juga kurang memperhatikan kehidupan 2 gadis ini. Mereka lebih banyak
diasuh para tetangga dekatnya. Kebetulan rumahku agak jauh dari rumah Bunga.
Hanya saja bila aku ke gereja, aku selalu melewati rumahnya. Dia selalu
tersenyum bila ku sapa.
Aku tidak
pernah mengira dia penderita HIV. Dia nampak normal-normal saja bila bermain
dengan teman sebayanya. Dia juga berlari-lari, main lompat karet, main game bersama teman-temannya. Dia hanya
semakin kurus dari hari ke hari. Tetangga sekitar Bunga semuanya baik, sehingga
Bunga dan kakaknya tidak sampai kekurangan makanan. Dia juga mendapat jatah
makan siang dari pihak kelurahan. Aku bersyukur Bunga bisa tetap berkumpul
dengan orang lain. Tidak ada yang takut saat bermain dengan Bunga. Tidak ada
tetangga yang risih saat mengirim makan kepada Bunga. Kebesaran hati dan cinta
para tetangga membuat Bunga bisa bertahan hidup sejak bayi hingga berusia 10
tahun.
Tadi sore
sebuah mobil ambulan Puskesmas parkir di depan rumahku. Dari dalam diusung jenasah yang ditutup
kain biru. Ternyata itu jenasah Bunga. Padahal kemarin aku baru saja melihatnya
berlarian di depan rumahnya. Bunga kecil akhirnya pergi selamanya. Dia tidak
ingin lebih lama merepotkan pak Lurah, pak RW, pak RT dan terutama para
tetangga yang selalu memberi perhatian padanya. Dia tidak ingin merepotkan
kakeknya. Yang kasihan sekarang kakak Bunga hidup sendiri bersama kakeknya. Dia
tidak punya teman bermain lagi. Adik satu-satunya yang dicintai telah pergi.
Bapaknya pergi, ibunya pergi sekarang Bunga juga pergi.
Hidup ini
selalu berputar kadang senang kadang susah. Tuhan sering kali sulit dimengerti.
Mawar mungkin juga berpikir Tuhan itu jahat telah mengambil semua yang
dicintainya. Tapi itulah hidup. Aku jadi merenung. Warga kampung, orang-orang
di sekitar Bunga sungguh orang yang luar biasa. Mereka juga orang-orang yang sederhana. Justru kesederhanaan itu yang
membuat mereka tidak pernah membedakan mana yang HIV, mana yang sehat. Mereka
menganggap semua ciptaan Tuhan harus dicintai. Aku
banyak belajar dari warga kampungku yang sederhana. Andaikan tetangga Bunga
orang kaya dan paham tentang HIV tentu Bunga tak pernah punya teman dan tak ada
yang memperhatikan. Itulah keajaiban, itulah kemurahan Tuhan. Bunga dihidupkan
diantara sesama orang sederhana yang justru lebih peduli. Selamat jalan Bunga...
Kamu seperti malaikat yang mengajarkan pada kami yang tua-tua ini bagaimana seharusnya
mengisi dan memaknai hidup ini, agar berguna bagi Tuhan dan sesama.
Penulis : Wike Purnomo.
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No.67, Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar