Maju kena mundur kena. Barang kali kalimat tersebut tepat
untuk menggambarkan kondisi para pekerja sektor informal saat ini.
Dengan meningkatnya korban virus korona dari hari ke hari di
Indonesia, membuat nasib sekitar 74
jiwa penduduk yang berusia 15 tahun ke
atas yang bekerja di sektor informal menjadi serba salah. Jumlah tersebut lebih
banyak daripada pekerja sektor formal yakni 55,3 juta jiwa, berdasarkan data
Badan Pusat Statistik pada Februari 2019.
Saat tulisan ini dibuat sudah
579 orang positif mengidap virus korona, 49 meninggal, 30 sembuh. Itu belum
termasuk dengan jumlah Orang Dalam Pemantauan dan Pasien Dalam Pemantauan.
Himbauan dari pemerintah terkait korona yang meminta
masyarakat untuk lebih banyak beraktivitas di dalam rumah, tanpa disadari menjadi
beban tersendiri bagi mereka para pekerja sektor informal. Bagaimana tidak? Beraktivitas
di dalam rumah, berarti macet pula arus pendapatan mereka.
Para pekerja informal seperti pedagang kaki lima, ojek
daring, petani, nelayan, ojek pangkalan, usaha kecil seperti warung kopi,
penjual makanan keliling, penjual sayur, tukang becak, tukang jahit, tukang
parkir pinggir jalan, buruh harian lepas, dan masih banyak lagi pekerjaan lain
memerlukan kehadiran fisik di luar rumah atau berjumpa dengan banyak orang di
keramaian demi mendapatkan penghasilan.
Belum lagi beban lain jika ada tuduhan “keras kepala” karena
tidak mematuhi ketentuan untuk tetap tinggal di rumah. Sejenak usir dahulu jika
ada persepsi tentang persamaan kondisi hidup pekerja informal dengan para kelompok
menengah yang masih menyimpan dana
darurat sehingga tetap aman tinggal di rumah atau para pekerja formal yang
tetap diberi upah meski tak perlu datang ke kantor.
Mereka tak memiliki banyak pilihan kecuali tetap bekerja
untuk menghasilkan uang. Sebagian besar dari mereka sampai detik ini tetap
bekerja di luar rumah dengan risiko terpapar penyakit, walau penghasilan juga
tetap akan menurun.
Menyikapi pandemi ini pemerintah tak tinggal diam. Meski dibilang
sedikit agak terlambat, di bawah ini aneka tameng ekonomi telah disiapkan untuk
menghadapi gempuran dari virus korona ini.
Namun pertanyaannya bukan tentang efektif tidaknya tameng
ekonomi tersebut. Lantaran kapasitas penulis untuk mengkritisi jauh dari kata
mumpuni. Tentunya pemerintah beserta jajarannya sudah menimbang risiko baik
buruk, untung rugi dari kebijakan tersebut.
Justru pertanyaan tertuju pada sebagian besar masyarakat. Apakah
himbauan baik untuk tetap tinggal atau bekerja dari rumah yang belakangan ini
getol dikampanyekan berbanding lurus dengan besarnya empati kepada pekerja
informal yang hingga detik ini masih berjuang untuk tetap mencari nafkah? Ataukah
empati yang ada saat ini hanya terbatas untuk tenaga medis yang tetap setia
merawat pasien korona? Coba tanya nurani sekali lagi!
Sembari tetap bertanya pada nurani dan berjuang bersama melawan
pandemi. Mari berimajinasi serta berdoa agar ada pula tameng ekonomi dari pemerintah
Indonesia kepada mereka para pekerja sektor informal, terlebih bagi kaum
marginal di tengah gempuran virus korona.
Oleh : Agus Eko Kristanto
Sumber data:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar