Sejak bulan Juni 2019, ketika saya mulai melihat postingan instagram story teman-teman dari kampus lain yang sedang sibuk menyiapkan pernak pernik kuliah kerja nyata (KKN), saya iri.
Saya cukup kecewa dengan sistem kampus saya, dimana kami tidak
mendapatkan waktu khusus untuk magang maupun KKN. Padahal, magang dan KKN
adalah salah satu
media yang bisa kita (Mahasiswa S1) gunakan untuk mengaplikasikan ilmu yang
telah kita dapat selama 3 tahun di bangku kelas. Sedangkan KKN adalah salah
satu media yang bisa kita gunakan untuk mengabdikan diri ke masyarakat dan
mencari cara bagaimana kita bisa mengaplikasi ilmu kita di lapangan.
Saya sangat ingin mengikuti KKN dan magang sebelum lulus dari S1. Tapi keinginan saya sepertinya memang harus saya relakan setengah. Mengapa setengah? Untungnya Fakultas Psikologi UBAYA memiliki satu program untuk mahasiswa tingkat akhir, yaitu live in.
Memang live in ini tidak bisa saya samakan dengan magang ataupun KKN, karena bobotnya berbeda. Namun, saya bersyukur karena saya masih memiliki media untuk berinteraksi dengan masyarakat secara langsung, melihat dan lebih lagi memahami keadaan lapangan yang ada, dan mencoba untuk mengaplikasikan ilmu yang sudah saya dapat di lapangan.
Melalui live in, saya menjadi lebih paham akan tingkat kemampuan akademik anak-anak (maaf) dari keluarga marjinal. Fasilitas belajar, keterlibatan orangtua dalam proses belajar anak karena tuntutan kesibukan yang lain, kondisi lingkungan tempat tinggal menjadi faktor penyumbang kemampuan akademik anak. Ada anak yang cepat dalam menyerap informasi, tapi ada anak juga yang lambat menyerap informasi menjadi tantangan untuk para pendidik agar ilmu yang dibagikan merata.
Selain itu, melalui proses live in ini, saya juga sedikit lebih memahami terkait dengan kurikulum yang digunakan saat ini. Kurikulum yang berbasis pada student learning, dimana siswa dituntut untuk belajar mandiri sebelum guru menjelaskan, pelajaran tematik yang sangat banyak, dan PR banyak yang diberikan sebelum pengajar.
Menurut saya, keefektifan model pembelajaran seperti ini patut dipertanyakan. Pasalnya, yang saya jumpai ketika live in, banyak anak yang tidak mengerjakan PR mereka sendiri. Anak-anak cenderung untuk menyalin pekerjaan temannya. Ketika mereka ditanya, ‘kok bisa jawabannya ini?’ mereka hanya bisa menjawab ‘gak tau kak. Aku nyontek.’ Tapi memang tidak semua anak memiliki pola pemikiran seperti ini.
Saya hanya bisa tersenyum miris mendengar jawaban anak-anak. Ketika saya berusaha untuk meluruskan pemikiran mereka, mereka menolak. Karena tidak tau harus mencari jawabannya darimana. Tapi, ketika saya berusaha untuk mengajari mereka – tidak langsung memberikan jawaban ketika mereka bertanya – mereka terlihat ogah-ogahan. Memberikan pemahaman dengan cara “ceramah” juga tidak ngefek.
Memang tidak semua anak yang memiliki pola berpikir seperti yang saya sebutkan diatas. Tapi, dengan adanya pola pikir seperti diatas, inilah yang menjadi hambatan untuk saya mengajar disana. Mereka tidak mau ketika belajar hal yang tidak mereka kuasai, gampang menyerah ketika tidak bisa, dan mengalir saja.
Walaupun ada sedikit kendala, saya berusaha untuk mencari cara bagaimana caranya agar tidak hanya mengajar mereka dalam akademik, tapi juga moral value.Ternyata, sangat-sangat tidak mudah melakukan hal tersebut.
Terkadang, ketika menjelaskan materi pelajaran saja saya masih sering ‘gagal’ membuat anak-anak paham, apalagi menyisipkan moral value. Saya sadar, bahwa menjadi seorang pendidik/pengajar bukan pekerjaan yang mudah. Diperlukan kesabaran, kreativitas, kepekaan, dan hati seorang pendidik agar anak-anak sukses.
Lalu apakah saya sudah berhasil menjadi pendidik? Belum. Masih banyak hal yang perlu saya pelajari dan asah lagi agar saya bisa menilai diri saya sudah memiliki kualifikasi yang baik sebagai seorang pendidik.
Dari sini, saya mulai menengok ke diri saya sendiri. Sebenarnya apa yang membuat saya berhasil hingga saya sampai di titik ini? Role model, tujuan, harapan, mimpi/cita-cita, support system. Melalui kehidupannya, role model inilah yang memberikan saya contoh apa saja yang harus saya lakukan.
Tujuan menjadi penunjuk arah bagi saya harus jalan kemana. Mimpi/cita-cita menjadi tujuan akhir yang harus saya capai. Harapan menjadi power saya ketika saya mulai lelah dan hilang semangat untuk mencapai tujuan akhir.
Terakhir, tanpa support system saya sebatang kara, dan tidak bernilai. Pengalaman live in ini, baik ketika berinteraksi dengan para pengurus, masyarakat, kakak pengajar yang lain sampai interaksi dengan anak-anak akan menjadi pengalaman yang berkesan ketika menempuh gelar sarjana.
Live in membuat saya melek kalau menyandang predikat IPK tertinggi tidaklah cukup. Di lapangan IPK tidak dilihat dan tidak berguna. Bagaimana cara kita berpikir dan problem solving yang diperlukan di lapangan.
Terima kasih untuk semua pengurus dan kakak pengajar di Sanggar Merah Merdeka divisi pendidikan di Lebak Arum Barat, Georgina, Kathrine, Devin, Bu Vinin, dan jajaran tim dosen yang memberikan saya kesempatan belajar lagi sehingga bisa menuliskan refleksi ini.
Oleh : Widya Wijaya (Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (UBAYA))
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 113, November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar