Merlyn, perempuan (40) asal Jakarta ingin melakukan kegiatan kemanusian di sela-sela padatnya bekerja dan menjadi single parent. "Baginya hidup jika hanya dihabiskan untuk bekerja dan bersenang-senang, ia merasa hidupnya masih merasa hampa," ujarnya.
Perempuan dengan 2 anak ini tiga bulan yang lalu dipindah pekerjaannya dari Jakarta ke Surabaya, ia akhirnya mencari lembaga kemanusian di IG maupun FB untuk mengisi kegiatan di saat tidak bekerja. Ketemulah yayasan sosial yang bergerak di pendampingan anak-anak miskin di Surabaya. Saat di kantor yayasan, ia berbincang-bincang dengan salah satu pengurus di lembaga itu.
"Saya senang sekali akhirnya menemukan lembaga yang bergerak untuk kemanusian. Saya muslim mas. Suami saya Katolik tapi sudah meninggal. Anak-anak saya sekolah di sekolah alam yang bebas belajar dan sekolah tanpa seragam," tuturnya dengan penuh gembira.
Tapi, walaupun kami berbeda agama kami sudah terbiasa dengan perbedaan. Kami hidup rukun. Anak-anak juga dibebaskan mau belajar apa. Mau berkeyakinan apa.
"Mereka itu kan manusia merdeka yang diberikan akal budi. Biar anak-anak sendiri yang menentukan mau jadi apa. Tentunya dengan tuntunan saya," ungkap perempuan yang bekerja menjadi HRD di perusahaan swasta di Surabaya.
"Iya, membantu sesama tidak harus membawa barang, cukup hadir. Sapa mereka yang miskin. Ajak mereka berbicara. Ajari mereka apa yang mereka belum tau. Itu sudah sangat membantu," ujar salah satu pengurus yayasan.
Kami bukan tidak butuh bantuan barang. Tapi pola kami berbeda, memberi barang, foto-foto itu sudah jaman dahulu kala. Model memberi barang secara langsung itu tidak mendidik dan menciptakan ketergantungan.
"Kalau mau memberi barang bisa langsung diberikan ke yayasan tapi tidak langsung ke anak-anak. Tapi kami yang akan mengelola bantuan itu. Kalau butuh dokumentasi barang saat dikasih akan saya berikan," katanya.
Oleh : Mahrawi
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 113, November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar