Malam itu aku sendirian di dalam
mikrolet. Sudah sangat malam. Jalan masih lumayan ramai. Kendaraan seperti
tiada henti lalu lalang. Mikrolet-mikrolet juga seakan berkejaran tanpa jeda.
Tapi pejalan kaki dan para kandidat penumpang mikrolet udah banyak berkurang.
Aku meringkuk di sudut belakang.
Terasa dingin. Badanku lelah dan pegal-pegal. Mungkin karena umur. Tapi, sejak
pagi terus menerus dalam perjalanan kayaknya memegang peranan paling penting.
Kuberharap segera berhenti. Segera sampai di tujuan. Menemukan air segar untuk
wajah yang pasti dah kacau balau. Lalu secepatnya mencari posisi horisontal
yang nyaman untuk badan penat ini.
Mikrolet satu ini ngebut sejak tadi.
Rasanya dah tak terhitung berapa kendaraan telah disalip. Juga tak terhitung
berapa kali mendadak berhenti. Seakan di belakang tak ada kendaraan lain. Bunyi
klakson ramai mengiringinya. Memprotes bang sopir yang pasang muka tak peduli.
Dia sendiri pun berkali-kali memencet klakson. Minta jalan pada kendaraan lain.
Badanku yang udah renta plus capek
hampir selalu terdorong keras ke depan tiap kali rem ditekan kuat. Hukum
relativitas bermain di sini. Kayaknya lebih nyaman pindah ke depan. Toh tetap
kosong.
Kuperhatikan wajah bang sopir sejak
duduk di belakang tadi. Wajah keruh. Tiap kali menawari penumpang, tak ada yang
masuk ke mikroletnya. Dan, wajahnya menjadi makin keruh. Seperti wajah orang
yang tak bisa menemukan solusi untuk satu hal penting.
“Setoran belum dapet, Bang” ujarnya
ketika kutanya.
Aku menghela nafas. Makanya, abang
ini nyetir kayak orang kesurupan, pikirku.
Mestinya orang-orang seperti dia ini
menjadi solusi bagi masyarakat. Solusi bagi transportasi masal. Tetapi, ketika
mereka harus mencari penumpang sendiri, persaingan yang terjadi. Dan, dengan
persaingan seperti ini, mereka dibiarkan berebut. Berebut penumpang. Berebut
rejeki. Berebut kehidupan.
Ketika dibiarkan bersaing dan
berebut, masih pantaskah menuntut mereka menaati peraturan? Bukankah
dengan sendirinya hukum rimba yang berlaku? Bukan hanya di antara mereka
sendiri. Tetapi, juga antara mereka dan kendaraan pribadi. Padahal kendaraan
pribadi telah banyak difasilitasi jalan tol, fly-over, marka khusus tanpa
batasan, dsb. Jadinya hukum rimba lebih kerap berlaku antara mereka dengan
pengendara motor, warga masyarakat yang tak mampu beli mobil. Hukum rimba di
antara orang-orang kecil.
Si abang melanjutkan obrolan.
Membuyarkan lamunanku. Anak sulung si abang ditabrak lari. Hari ini harusnya
keluar dari rumah sakit. Tapi, uang tidak ada.
Dia terus bercerita. Sementara
matanya bergerak liar melirik pinggiran jalan. Di wajahnya membayang rasa
geram. Sekaligus perasaan tak berdaya. Mungkin tanpa sadar, dia makin kuat
menginjak gas. Makin kuat pula menekan pedal rem. Perutku jadi mual, walau
sudah duduk di depan.
“Dia di rumah sakit mana, Bang?”
tanyaku.
Si abang menyebut satu rumah sakit.
Rumah sakit Katolik. Rumah sakit Katolik???!!! Aku langsung tertunduk. Merasa
bersalah. Juga menyesal karena bertanya. Rasa mual makin menjadi-jadi….
November
2010…ketika lagi berkeliling dari kota ke kota…
(Rm. Rudy
Hermawan CM)
dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar