Live in adalah salah satu kegiatan
dimana setiap relawan harus hidup bersama salah satu keluarga yang hidup
di kalangan menengah ke bawah. Relawan sanggar mendapat kesempatan untuk
belajar dari sebuah kehidupan yang dijalani oleh para orang tua
anak-anak sanggar. Tujuan program live in ini adalah mengajak setiap
relawan untuk melihat dan merasakan sebuah kehidupan secara langsung yang
mungkin tak pernah mereka alami dalam kehidupan sehari-hari, dengan demikian
diharapkan para relawan menjadi lebih peka, bukan hanya untuk sekedar
melihat dan mendengar tapi lebih diajak untuk bisa lebih
peduli dengan keadaan yang dihadapi anak-anak terutama dengan
permasalahan pendidikan yang selama ini masih kurang menjadi perhatian.
Kali ini saya berkesempatan untuk
belajar hidup dari keluarga Pak Japar dan Ibu Khotimah, orang tua
dari Rossi, Iqbal, Romadhon, dan Nur. Mereka adalah keluarga
anak-anak sanggar yang bertempat tinggal di sebuah rumah kos di daerah
Bendul Merisi. Kehidupan keseharian mereka hanya dicukupi oleh
seorang bapak yang bekerja sebagai seorang penjual jagung manis di Pasar
Karah. Karena memiliki seorang anak yang masih bayi (Nur), sang istri
hanya bisa berprofesi sebagai ibu rumah tangga.
Setiap hari Pak Japar harus
berangkat menjual jagung mulai pukul 04.00 sampai dengan pukul 10.00 dan
hanya mendapatkan hasil penjualan yang dapat mencukupi untuk
makan sehari-hari dan bayar kos. Untuk kebutuhan lainnya seringkali
keluarga Pak Japar mengandalkan pinjaman dari koperasi pasar. Mereka hanya
lulusan SD dan SMP. Oleh sebab itu mereka tidak mempunyai kesempatan untuk
berkembang ataupun bersaing untuk bekerja yang lebih luas. Sehingga tidak
ada pilihan lain selain bekerja sebagai penjual jagung manis.
Selama 3 hari bersama keluarga Pak
Japar, saya juga melihat betapa terpinggirkannya keluarga-keluarga di sekitar
Pak Japar. Sebagai warga tidak tetap, kehidupan Pak Japar dan para warga
tidak tetap lainya (Kost dan Kontrak) sering terabaikan. Peran
serta dalam lingkungan, budaya dan agama tak tersentuh sama
sekali. Sehingga peran keluarga ini pun di dalam
masyarakat sangatlah minim. Di masyarakat Bendul Merisi Jaya,
khususnya orang-orang yang bertempat tinggal tidak tetap (perantau),
mereka tidak pernah di beri peran apapun dalam kehidupan
bermasyarakat. Mereka merasa tidak ada pengakuan sebagai bagian dari
masyarakat. Sehingga sering terjadi kesenjangan sosial, antara warga
tetap dan warga perantau (kos) tidak bisa saling berjalan seiringan. Dan
hal seperti ini sudah tumbuh dari puluhan tahun dalam kehidupan bersama di
Bendul Merisi Jaya.
Untuk urusan pendidikan,
biasanya setelah lulus SD, anak-anak mereka akan menjadi penerus
usaha orang tuanya atau dipondokkan.
Tiga hari serasa tidak cukup bagiku
untuk belajar hidup dari keluarga Pak Japar. Belajar hidup dengan
keterbatasan, belajar hidup dengan kurangnya kesejahteraan. Dari kehidupan
mereka yang serba dalam keterbatasan itu saya diajarkan untuk bersyukur dan
berbagi dengan sesama. Ketika saya hadir dalam keluarga mereka, saya bukan
dianggap sebagai seorang tamu, melainkan sebagai bagian dari keluarga.
Kehidupan sehari-hari mereka tetap berjalan apa adanya dan keterbatasan
yang ada tidak menghalangi mereka untuk memberikan pelayanan yang terbaik
kepada saya.
oleh Heru Dadik Kusuma
Dimuat
dalam Buletin Fides Et Actio No. 36, Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar