Warung kecil ini penuh pembeli.
Sebuah warung kecil di dekat pasar sayur. Tukang becak, tukang sampah, pegawai
bengkel mobil, dan pedagang di pasar duduk berdesakkan di dua bangku panjang
membentuk huruf L yang diletakkan di sisi rombong. Beberapa orang berdiri
sambil menikmati jajanan goreng. Setiap tutup tempat jajanan itu dibuka maka
beberapa lalat gemuk dan besar berterbangan menyingkir sejenak. Mereka akan
kembali bila orang tidak lagi mengusiknya. Mungkin mereka terbawa oleh gerobak
sampah yang diletakkan begitu saja di dekat warung. Atau mereka penghuni tetap
tumpukan sampah yang tidak jauh dari situ. Tapi tidak ada satu pun orang yang
peduli dengan lalat-lalat itu. Binatang itu telah menjadi bagian dari mereka.
Aku duduk diantara mereka menikmati
kopi dan pisang goreng. Beberapa orang bercerita tentang semakin sulitnya hidup
di Surabaya. BBM naik tapi gaji belum naik. Hujan yang turun deras akhir-akhir
ini sering membuat rumah-rumah mereka tenggelam. Tapi pemerintah tampaknya
melihat itu bukan masalah. Jika mereka melihat sebagai masalah maka akan ada
perbaikan. Masih banyak pembicaraan serius sampai hanya guyonan khas masyarakat
Surabaya yang kotor dan kasar.
Seorang bapak tua masuk dan duduk di
sebelahku. Umurnya sekitar 50 tahunan. Aku tidak tahu persis sebab kaum miskin
biasanya wajahnya lebih tua daripada umur sesungguhnya. Dia membawa sebuah tas
dari karung plastik biru yang sangat besar. Setelah duduk dia pesan kopi. Si
penjual dengan sigap mulai menyeduh kopi. Pak tua itu kemudian mengeluarkan
sebuah dompet kecil. Dia menghitung uang recehan yang ada di dalamnya. Ada
beberapa keping uang ratusan dan lima puluhan. Beberapa kali dia menghitung dan
merogoh dompetnya. Kemudian dia merogoh saku baju dan celananya. Tapi tidak
menemukan apa-apa. Dia menghitung lagi uangnya.
Ketika pemilik warung menyodorkan
gelas kopi, bapak itu bertanya berapa harga segelas kopi? Dijawab Rp 1000.
Tiba-tiba dia mengatakan tidak jadi pesan kopi. Pemilik warung jadi ngomel,
sebab kopi sudah terlanjur jadi. Beberapa orang yang mungkin langganan warung
di situ juga mulai ngomel. Bapak itu hanya terdiam. Menundukkan kepala. Pergi!
Sejenak aku tadi melihat uang bapak itu tidak cukup untuk membeli kopi. Mungkin
dia sudah berusaha mencari di seluruh kantong baju dan celananya tapi uang
tetap tidak cukup. Betapa beratnya hidup ini. Pada jaman seperti ini uang Rp
1000 pun orang tidak punya.
Aku keluar warung dan berusaha
menyusul bapak itu. Kulihat dia sedang meneliti tong sampah pasar. Kusapa dan
kuajak masuk warung yang lain. Di jalan ini ada beberapa warung kecil seperti
itu. Semula dia menolak. Aku katakan bahwa aku yang membayar. Akhirnya dia mau
dan mengikutiku masuk warung. Kami duduk di bangku panjang warung. Kupesan kopi
dua gelas. Aku persilakan bapak itu mengambil makanan apa yang diinginkan. Dia
mengambil nasi bungkus. Sambil makan kami ngobrol tentang kehidupan.
Perjalanan hidup bapak ini sangat
berat. Dia seorang duda. Anak-anaknya sudah menikah dan tinggal di kota lain.
Dulu dia berasal dari sebuah desa kecil. Hidup sebagai buruh tani. Tapi
tenaganya semakin lama semakin berkurang sehingga dia sulit untuk bertahan
sebagai buruh tani. Apalagi hasil pertanian tidak cukup untuk menyambung hidup.
Hasil panen yang sedikit masih harus dibagi dengan pemilik tanah. Akibatnya
setiap panen dia tidak mendapatkan uang melainkan tambah berhutang kepada para
tetangga. Oleh karena tidak mampu membayar hutang lagi, maka dia pergi
meninggalkan desanya.
Dia mengira di Surabaya dia bisa
bekerja apa saja. Ternyata apa yang diimpikan dari desa tidak menjadi
kenyataan. Dia menjadi pemulung. Dia mengambil gelas plastik, botol, kertas
atau apa saja dari sampah atau jalanan. Tas plastik besar itu isinya barang
bekas. Ternyata hasil memulung pun tidak cukup untuk hidup, sebab untuk
mendapat barang bekas juga sangat sulit. Di Surabaya banyak sekali pemulung.
Mereka harus berebut barang bekas. Apalagi harga gelas plastik, botol plastik
dan sebagainya sangat murah. Dia ingin jadi pengemis tapi masih malu, sebab
belum begitu tua. Kalau dia cacat mungkin dia bisa menjadi pengemis. Tapi dia
tidak cacat. Orang akan mengatakan dia malas kalau menjadi pengemis.
Aku yakin bapak itu hanyalah satu
dari ribuan petani yang kalah. Petani yang harus meninggalkan sawahnya untuk
mengais sampah di kota besar. Kepergian ke kota sebetulnya merupakan keputusan
yang berat. Sejak kecil dia sudah bergulat dengan sawah dan pertanian. Kini dia
harus meninggalkan semuanya. Pasti dia merasa kehilangan. Dia kehilangan jati
dirinya. Kehilangan bagian hidupnya yang sangat berharga. Bagiku petani dengan
sawah mempunyai hubungan yang erat. Bukan hanya orang dengan lahan pekerjaan.
Tapi ada satu kesatuan diantaranya yang tidak dapat dijelaskan. Sawah adalah
sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari hidupnya. Maka dapat dibayangkan
betapa berat ketika dia harus meninggalkannya dan mulai menjadi pemulung di
kota yang sangat asing baginya.
Beberapa saat aku masih duduk
mengobrol dengannya. Setelah makan, minum kopi dan menghabiskan satu batang
rokok kami berpisah. Aku kembali ke bengkel mobil. Memang tadi aku sedang
menserviskan mobil. Ternyata mobil sudah selesai. Kulihat ongkos yang harus aku
bayar. Betapa mahalnya. Aku teringat bapak tadi. Dia Rp 1000 saja tidak punya,
padahal ingin minum kopi yang dibutuhkan. Sedangkan aku harus membayar sekian
besar. Seandainya saja ongkos servis ini dibelikan kopi mungkin akan dapat
ratusan gelas dan banyak orang seperti bapak tadi dapat minum kopi. Memang
harga ini harus dibayar sebagai konsekwensiku mempunyai mobil. Betapa besar jurang
diantara kami.
Melihat mobil yang baru diservis aku
jadi malu. Betapa banyak kenyamanan yang aku peroleh. Disisi lain ada sekian
banyak orang yang sedikit membutuhkan untuk hidup dan mereka tidak punya. Bapak
tadi sempat mengais di tong sampah. Bila beli kopi saja tidak cukup apalagi
beli makanan. Seandainya uang servis itu aku belikan beras pasti dapat sekian
puluh kilo dan dapat untuk hidup bapak itu selama beberapa hari. Apakah aku
tidak boleh menservis mobil? Aku rasa tidak bijak juga, sebab pasti mobil akan
rusak. Kerugian akan semakin besar. Apakah mobil perlu dijual. Tapi itu bukan
milikku pribadi. Aku tidak berhak menjualnya. Aku ingin berlari dari
perbantahan hati tapi wajah bapak itu selalu muncul. Aku tidak berhak menjual
mobil. Aku juga tidak mungkin tidak menservisnya. Apa yang harus aku perbuat?
Hatiku bergulat.
Bisa saja aku diam dan tetap hidup
seperti sebelum bertemu bapak itu. Tapi dimana rasa solidaritasku padanya?
Dalam Injil Yesus memberi perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus. Yesus
tidak mempersoalkan darimana kekayaan orang itu. Dia hanya mempersoalkan
ketidakpedulian orang itu terhadap penderitaan sesamanya. Orang berhak
mempunyai kekayaan. Aku berhak mempunyai pinjaman mobil. Tapi persoalannya
apakah aku punya kepekaan hati terhadap orang miskin yang ada di depanku?
Apakah aku masih berpikir akan mengadakan pesta natalan yang meriah padahal di
koran dikatakan ada 50 orang Papua yang meninggal akibat kelaparan. Masih ada
seorang bapak yang sakit di rumah singgah dan ditolak oleh beberapa rumah sakit
sebab dia hanyalah seorang pengemis.
Dalam hal ini bukannya aku tidak
boleh mempunyai mobil atau menservis mobil tapi apakah aku masih punya nurani?
Apakah aku masih punya hati yang peka? Apakah aku masih mau bertindak secara
cepat bila ada orang yang membutuhkan di depanku? Apakah aku masih pantas
mengendarai mobil bila masih bisa naik motor yang lebih irit? Apakah aku masih
tega menghamburkan puluhan lembar ribuan untuk memuaskan diriku padahal ada
bapak yang Rp 1000 pun tidak punya?
Memang sering kali jaman menyeretku
ke dalam keputusan-keputusan ceroboh. Jaman menawarkan kemewahan dan kenikmatan
yang membangkitkan rasa keinginan untuk memiliki. Aku sering terseret dan
menanggapi tawaran jaman. Seharusnya aku mempunyai keteguhan diri untuk berani
tegas menolak atau mengkritisi tawaran iklan yang membanjiri hidupku setiap
hari dengan aneka tawaran yang menggiurkan. Aku seharusnya membeli apa yang aku
butuhkan untuk hidup bukan sekedar memuaskan rasa gengsi dan sebagainya. Aku seharusnya
berani naik motor, sebab saat ini harga bensin begitu mahal, sehingga
pengeluaran bensinku sebulan bisa melebihi gaji teman-teman buruh selama
sebulan. Apakah dengan naik mobil aku lebih hebat daripada naik motor? Apakah
aku akan terlihat lebih hebat bila aku bisa memakai baju dengan merk mahal
padahal aku bisa memakai kaos sederhana saja? Bukankah aku tetap aku? Bukankah
aku dinilai oleh Allah bukan dengan apa yang aku miliki tapi apa yang aku
kerjakan untuk sesama? Inilah tantanganku saat ini.
Siang ini bapak itu dapat minum kopi
dan makan nasi bungkus. Bagaimana dengan nanti malam dan esok hari? Apakah
masih dapat minum kopi dan makan? Bila hujan dimana dia akan berteduh? Awan
mendung semakin tebal. Hujan gerimis mulai turun. Aku gelisah. (Rm. Gani Sukarsono CM, dimuat dalam buletin
Fides Et Actio No. 35 bulan Mei 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar