Lebih dari 10 tahun lalu, ada
cerita yang meluncur dari mulut seorang teman. Dia ikut warga kampung pedalaman
berburu di belantara Kalbar. Mereka biasanya berburu dengan senapan lantak.
Senapan made by mereka sendiri. Pelurunya gotri-gotri kecil.
Ketika itu warga menembak
orang utan yang lagi melompat dari pohon ke pohon sembari menggedong anaknya.
Begitu tertembak dan melayang jatuh, si orang utan melemparkan anaknya jauh ke
udara. Maksudnya jelas. Si anak harus selamat. Tidak ikut tertangkap manusia.
Sungguh, luar biasa.
Si induk ini jatuh terkapar.
Berada dalam cengkeraman sakratul maut. Sementara si anak akhirnya tertangkap
oleh para pemburu. Langsung dibawa ke tempat si induk terkapar sekarat. Saat
melihat anaknya tertangkap, air keluar dari mata sang induk. Menangis! Lalu
mati….
Kisah mengharukan saat
kudengar kala itu. Kisah tentang orang utan yang berlaku seperti manusia,
bukan? Tapi, kisah yang barusan ini sebaliknya. Sama sekali jauh dari
mengharukan.
Pagi tadi sms dari seorang relawan
masuk ke HPku,
“Mo, ada bayi usia satu bulan,
positif HIV. Keluarganya gak mau ngurusi. Ibunya sudah meninggal. Apa ada panti
yang mau terima dia ya?”
Duh, Gusti…. Bulu-bulu di
tubuh rasanya seperti berdiri semua.
Kubayangkan bayi ini….
Bayi tak bersalah yang
dipersalahkan. Divonis dan diperlakukan sebagai orang yang salah. Padahal, saat
diciptakan oleh Allah, dia tidak pernah ditanya mau memilih lahir di keluarga
siapa. Dia juga pasti tidak pernah minta untuk lahir dari seorang ibu yang
positif HIV. Atau, pernahkah dia sengaja memilih HIV hidup di tubuhnya? Apakah
lahir sebagai pengidap HIV adalah kesalahan si bayi? Pun seandainya si bayi
memang bersalah, haruskah disingkirkan dan dibuang?
Bukankah bayi ini ciptaan
Allah? Tidakkah jejak-jejak tangan dan nafas Allah tergambar dalam dirinya?
Karena itu, tidakkah Allah mencintai ciptaanNya? Apakah mungkin Allah
menciptakan manusia dan lalu tidak mencintainya? Bukankah sejelek dan sebangsat
apa pun si manusia, dia tetap ciptaan Allah, jejak tangan Allah tetap dalam
dirinya, dan tetap dicintaiNya? Memangnya Allah menghendaki ciptaan yang
dicintaiNya itu dibuang oleh manusia, yang juga ciptaanNya? Tidakkah
menyingkirkan dan membuang si bayi HIV ini berarti mengabaikan Penciptanya?
Tidakkah itu sama saja dengan membuang Allah sendiri?
Hujan dan panas saja diberikan
cuma-cuma kepada semua orang. Yang baik maupun yang jahat. Udara untuk bernafas
dibagikan gratis. Gak peduli yang menikmatinya orang soleh atau pun bajingan.
Yang sungguh luar biasa, Allah tetap memberi kesempatan untuk hidup kepada
musuh terbesarNya. Padahal di sepanjang sejarah akhirat dan dunia, sang musuh
besar ini selalu menggangguNya dan menghasut ciptaanNya. Apakah lalu manusia
punya hak untuk membuang manusia lain, sesama ciptaan?
Dalam cerita yang tadi itu
orang utan berlaku mirip manusia. Punya hati dan karenanya mampu mencintai.
Yang kutemui ini manusia berlaku seperti apa ya….
Tiba-tiba HP berbunyi. Sms
lain masuk.
“Mo, kita berangkat sekarang?”
Oh, dari relawan lain. Udah terlalu
lama aku melamun. Waktunya untuk bergerak cepat.
Oleh : Rm. Rudy Hermawan CM
Dimuat dalam Buletin Fides Et Actio edisi No.43, Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar